SEMANGAT
Kata semangat atau Viriya sering kita dengar dalam kehidupan kita sehari-hari. Biasanya kata semangat ini diucapkan saat kita merasa diri kita kurang punya minat pada hal tertentu sehingga kita tidak sepenuh hati melakukan hal tersebut.
Sementara kata Viriya terdapat dalam beberapa teks-teks Buddhis, antara lain pada Syair-syair Dhammapada, dan juga termasuk dalam Sad Paramita atau enam paramita.
Berikut 2 cuplikan Dhammapada yang memuat mengenai semangat
“Seseorang yang hidupnya hanya mencari kesenangan, yang inderanya tidak terkendali, yang makan tanpa batas, yang lamban dan bersemangat rendah. Sesungguhnya Mara menumbangkannya bagaikan angin menumbangkan sebuah pohon lapuk.” (Yamaka-vagga,7)
“Seseorang yang hidupnya tidak mencari kesenangan, yang inderanya terkendali, yang makan secukupnya, yang penuh keyakinan dan bersemangat. Sesungguhnya Mara tidak dapat menumbangkannya bagaikan angin tidak dapat menumbangkan sebuah gunung karang.” (Yamaka-vagga,8)
Dua syair kembar diatas menceritakan mengenai dua orang murid Buddha yang bernama Mahakala dan Culakala. Mahakala sangat tekun melatih Samadhi, sedangkan Culakala lebih senang bermalas-malasan. Karena ketekunannya, Mahakala mancapai tingkat kesucian Arahat.
Suatu saat, Sang Buddha dan para siswanya singgah di Hutan Simpasa. Kemudian para bekas istri Culakala mengundang Sang Buddha dan para siswanya untuk menerima dana makanan dirumahnya. Kemudian Culakala memohon ijin kepada Sang Buddha untuk ikut bersama istrinya untuk mempersiapkan tempat bagi Sang Buddha. Karena Culakala tidak tekun dan sungguh-sungguh dalam melaksanakan kewajibannya sebagai bhikkhu, ia terbujuk rayuan istrinya dan akhirnya ia kembali ke kehidupan duniawi bersama istrinya. Kemudian bekas istri Mahakala juga ingin membujuk Mahakala untuk kembali disisi mereka. Bekas istri Mahakala meminta ijin pada Sang Buddha juga. Kemudian para bhikkhu mengungkapkan kekhawatiran dan ketakutan mereka bahwa Mahakala akan mengikuti jejak Culakala untuk kembali ke kehidupan duniawi. Lalu Sang Buddha menjelaskan bahwa sifat kedua saudara itu tidak sama, Culakala seperti pohon lapuk, tetapi Mahakala bagai gunung karang. Kemudian Sang Buddha membabarkan kedua syair diatas.
Dari cerita Mahakala dan Culakala tersebut, dapat kita simpulkan bahwa orang yang penuh keyakinan dan bersemangat dalam melaksanakan kewajibannya akan seperti gunung karang yang tidak dapat ditumbangkan oleh angin, sama seperti karakter Mahakala. Sedangkan orang yang lamban dan bersemangat rendah dalam melaksanakan kewajibannya akan seperti pohon lapuk yang mudah ditumbangkan oleh angina, sama seperti karakter Culakala.
Sementara itu, di dalam Sad Paramita, Virya Paramita (kesempurnaan kekuatan/semangat) dirumuskan melalui “kekuatan” untuk melaksanakan paramita secara terus-menerus dan teratur dengan melaksanakan perbuatan yang berguna, baik siang maupun malam tanpa mengeluarkan air mata dan tanpa mengeluh.
Dalam Sad paramita pula, terdapat pembagian atas dua macam virya, yaitu : Sannaha-virya (memakai perisai dalam arti mempersiapkan diri), dan Prayoga-virya (ketekunan dalam pelaksanaan). Kedua macam virya ini sebagaimana yang diajukan dalam Mahayana Sutralankara, dari sumber lain diterangkan sebagai ‘penguatan diri’ terhadap timbulnya gangguan, yang diumpamakan sebagai memakai perisai. Dan untuk yang kedua, yang berkenaan dengan pelaksanaan, yang ditekankan adalah ketekunan dalam mempelajari ajaran agama serta kesungguhan pelaksanaannya.
Apakah anda ingin menjadi orang yang penuh keyakinan dan bersemangat seperti Mahakala ataukah menjadi orang yang lamban dan bersemangat rendah seperti Culakala? Semuanya adalah pilihan. Dan jawabannya ada pada diri anda sendiri.
_Uchan_
Daftar Pustaka :
Dhammapada
Dhammapada Atthakhata
Sad Paramita
SEMANGAT HIDUP DALAM DHAMMA
MEMBAWA TRANSFORMASI DIRI, SOSIAL, DAN LINGKUNGAN HIDUP
Raja Asoka dari dinasti Maurya yang berkuasa di India dari tahun 273 SM hingga 232 SM adalah seorang raja beragama Buddha yang menguasai sebagian besar anak benua India. Setelah mengenal ajaran Buddha, Raja Asoka mengalami transformasi diri luar biasa dan bersemangat hidup dalam Dhamma. Dari seorang raja yang dijuluki sebagai Canda Asoka, yang menunjukkan bahwa ia adalah pembunuh yang tak kenal kasih, kemudian berubah menjadi Dhammasoka yang berarti Asoka penganut Dhamma atau Asoka yang saleh. Selama kepemimpinannya, Raja Asoka menyebarluaskan ajaran Buddha dengan dibantu oleh putranya yang bernama Mahinda dan putrinya yang bernama Sanghamitta. Kedua putra-putrinya ini menjadi anggota Sangha dan berkelana memperkenalkan ajaran Buddha ke seluruh pelosok India hingga ke Srilanka, Mesir dan Yunani.
Selama sisa masa pemerintahannya semenjak mengenal Buddha Dhamma, Raja Asoka menerapkan kebijakan resmi anti kekerasan (ahimsa), bahkan penyiksaan dan pembunuhan sia-sia terhadap binatang juga dilarang, termasuk perburuan untuk olahraga dan pengisian waktu luang. Rakyatnya diperlakukan secara sama tanpa membedakan derajat, agama, haluan politik, ras, suku bangsa ataupun kasta. Semangat missionaris Buddhis yang dimanifestasikan secara nyata oleh Raja Asoka ini masih dapat kita saksikan hingga kini di berbagai tempat di India melalui pilar-pilar yang dikenal dengan nama Pilar Asoka. Pilar-pilar Asoka tersebut terbuat dari batu granit dengan puncaknya berbentuk empat singa yang berdiri membelakangi satu sama lain. Simbol singa inilah yang kemudian dijadikan sebagai lambang negara India modern. Walau telah berlalu lebih dari 2000 tahun, kebesaran Raja Asoka tetap harum mengiringi semangat toleransi ajaran Buddha yang dilestarikannya pada prasasti yang terukir di tiap pilar Asoka.
Tidak hanya dengan mengenal ajaran Buddha begitu saja, Raja Asoka dapat mengalami transformasi diri yang luar biasa melainkan Beliau melaksanakan, mempraktekkan dan berlatih ajaran Buddha secara mendalam. Setelah mengalami transformasi diri yang luar biasa melalui ajaran Buddha, Raja Asoka sangat bersemangat untuk hidup dalam dhamma serta berbagi hasil dari transformasi diri kepada berbagai pihak, sehingga berbagai pihak pun merasakan dampaknya baik itu rakyatnya maupun para binatang serta lingkungan hidup. Sangat jelas sekali, melalui transformasi diri maka akan berdampak positif secara langsung maupun tidak langsung terhadap sosial dan lingkungan hidup kita.
“Setelah mengenal ajaran Buddha, Raja Asoka mengalami transformasi diri luar biasa dan bersemangat hidup dalam Dhamma.” Satu kalimat yang sangat penting dan perlu kita jadikan sebagai patokan/acuan, ketika kita mengakui bahwa kita adalah seorang Buddhis.
Sebagai seorang Buddhis yang meyakini Buddha, Dhamma, dan Sangha (Triratna) secara mendalam, sudah sewajarnya kita merenungi, memahami serta menyelami kalimat di atas secara seksama dan mendalam. Apakah kita telah mengalami transformasi diri seperti yang telah dialami Raja Asoka ketika mengenal ajaran Buddha. Dari sekian banyak dari kita semua yang mengaku sebagai seorang Buddhis dan telah mengenal serta memahami ajaran Buddha, bahkan ada yang meyakini dengan sangat mendalam dan hidup dalam Dhamma itu sendiri. Seberapa banyak dari kita yang telah mengalami transformasi diri dan seberapa semangat kita hidup dalam Dhamma.
Sudah saatnya kita berhenti ‘berlari’ dari kehidupan yang menjanjikan kebahagiaan semu dan penderitaan sejati yang bertaburkan kemelekatan ini. Sebagai seorang Buddhis, tentunya kita paham untuk berhenti ‘berlari’, kita harus menyentuh ajaran Buddha lebih mendalam. Belajar, berlatih, dan berbagi hidup berkesadaran dengan berlandaskan perhatian murni adalah jalan untuk menyentuh ajaran Buddha secara keseluruhan. Dengan didukung oleh semangat yang luar biasa, tentunya semangat positif serta bijaksana akan sangat membantu kita sehingga dapat menyentuh ajaran Buddha lebih mendalam bahkan mengakar dalam diri kita.
Semangat hidup dalam Dhamma merupakan suatu sikap antusias yang mengarah ke arah yang positif dan bijaksana dalam mejalankan ajaran Buddha dalam keseharian kita serta mengakar sedemikian rupa dalam diri kita. Dengan mengakar akan menjadikan kita sebagai ‘lonceng kesadaran’ bagi pihak lain. Setiap orang adalah “Lonceng Kesadaran’ yang memanggil-manggil kita untuk kembali pada latihan jalan berkesadaran. Layaknya bel di Sekolah sebagai alat pengingat waktu pergantian aktivitas yang dilakukan. Tidak mustahil jikalau transformasi diri akan kita peroleh bahkan transformasi sosial dan lingkungan hidup pun terjadi, apabila kita menyentuhnya lebih mendalam.
Transformasi diri merupakan perubahan yang terjadi dalam diri seseorang yang telah berhenti ‘berlari’ dari masa lalu maupun masa yang akan datang dan berusaha untuk hadir dalam kekinian serta berusaha belajar, berlatih untuk menyentuh ajaran Buddha, memeluknya secara langsung dan melihatnya secara mendalam, dengan mengolah energi kedamaian, kesolidan, dan suka cita yang positif, energi-energi itu akan tahu bagaimana menangani energi negatif dalam dirinya.
Sedangkan transformasi sosial dan lingkungan merupakan dampak positif yang timbul baik secara langsung maupun secara tidak langsung dari perubahan diri seseorang yang telah menyentuh dan memeluk ajaran Buddha secara mendalam dan menjadikan dirinya sebagai ‘lonceng kesadaran’ serta berbagi hasil bagi pihak di luar diri/sekelilingnya.
Tidak hanya Raja Asoka saja yang dapat merasakan semangat hidup dalam Dhamma serta berbagi hasil untuk para rakyat, binatang serta lingkungannya, kita juga akan dapat melakukan hal itu. Walau telah berlalu lebih dari 2000 tahun keruntuhan masa kejayaan Raja Asoka, bukanlah menjadi persoalan. Itu hanya permainan waktu saja, layaknya roda yang selalu berputar. Begitu juga dengan kehidupan sekarang, walaupun sudah menginjak abad ke 21 tidak jauh berbeda dengan keadaan abad-abad yang lalu. Bahkan kehidupan sekarang lebih memperihatinkan. Sebagai seorang Buddhis, sudah saatnya kita berbagi sesuatu yang berbeda melalui belajar, berlatih, dan berbagi hidup berkesadaran yang berlandaskan perhatian murni, serta semangat hidup dalam dhamma yang membawa terjadinya transformasi diri, transformasi sosial, dan pelestarian lingkungan hidup.
Aph.wu
Referensi :
Kumpulan Makalah Y.A. Maha Biksu Thich Nhat Hanh
http://www.mail-archive.com/mabindo@yahoogroups.com/msg02704.html
Introspeksi
Api
Hendry Filcozwei Jan
Komputer plus fasilitas internet memang mengasyikkan. Kalau sudah duduk di depan komputer, penulis tahan berlama-lama. Dulu, saat masih jomblo (bujangan), kalau tidak bisa tidur, selain buku dan acara TV, komputer-lah teman setia penulis. Iseng saja menulis (menuangkan segala ide atau apa saja yang terlintas di pikiran), atau bisa juga membuka arsip lama.
Penulis termasuk dalam kelompok orang yang gaptek (gagap teknologi). Dulu (awal kenal komputer) hanya bisa WS (Word Star), kalau sekarang MS Word. Lumayanlah kalau sekedar mengetik. Internet? Tadinya tidak tahu… Tapi perlahan-lahan dipaksa tahu karena perkembangan jaman yang makin maju, memaksa penulis untuk tahu (biar tidak ketinggalan jaman).
Perkenalan pertama, punya email (dibuatkan teman). Lalu mulai surfing (juga diajar teman saat main ke warnet). Sekarang makin gemar utak-atik internet setelah tahu ada web log (blog), fasilitas situs secara gratis. Sekarang, jumlah blog penulis sudah mencapai angka 60 buah dan terus akan bertambah. Beruntunglah penulis, sepanjang proses belajar ini, ada saja teman (baik dekat, maupun yang jauh: luar kota bahkan di luar negeri) yang bersedia jadi “guru” gratis. Apa saja permasalahan yang dialami, bisa ditanyakan via email. Dengan senang hati, teman-teman penulis menjawabnya. Transfer ilmu terjadi tanpa kendala jarak.
Tadi penulis membaca kembali arsip tulisan berjudul “Jadilah Pelita” (dari Illuminata-nya www.ehipassiko.net). Ilmu memang sangat berbeda dengan benda/ barang lain. Bila benda lain yang bila dibagi, jumlah benda tersebut akan berkurang. Misalkan Anda punya 3 potong kue, 1 dibagikan kepada teman, maka akan tersisa 2 di tangan Anda. Lain halnya pada ilmu, ilmu dibagi, pemiliknya makin berilmu. Ini yang sering dikatakan guru penulis (saat SD). Bila besok akan mengajar, maka hari ini pak guru akan membaca kembali materi yang akan diajarkan esok. Bahkan membaca buku penunjang lain, agar selalu siap bila ada murid yang bertanya. Bahkan, kalau saat mengajar, ada pertanyaan yang belum terjawab, pak guru akan berusaha mencari jawabannya agar di pertemuan yang akan datang, beliau bisa menjawabnya.
Bukankah ini artinya ilmu pak guru akan semakin banyak, meski beliau terus membagikan ilmunya? Ini dapat diibaratkan api. Berikut penulis kutip bagian akhir tulisan “Jadilah Pelita.” “Sejuta pelita dapat dinyalakan dari sebuah pelita, dan nyala pelita pertama tidak akan meredup…” Hal ini juga sedang coba penulis lakukan dengan membuat banyak blog, berbagi ilmu. Apa data dan ilmu yang penulis miliki, penulis bagikan lewat blog yang bisa dikunjungi siapa saja. Semoga saja bermanfaat bagi banyak orang. Mari bersama-sama kita teladani sifat api ini.
Labels: BVD Mei