Sunday, October 07, 2007,10:07 PM
Kerja Sama

Kalian pasti pernah denger cerita tentang kerjasama jari-jari tangan kan? Ibu jari sombong karena dia yang paling besar dan selalu digunakan manusia untuk menyatakan hal-hal yang bagus. Jari telunjuk sombong karena dia yang digunakan manusia untuk menunjuk dan memerintah. Jari tengah sombong karena dia yang paling menonjol dan paling tinggi. Jari manis sombong karena dia yang paling kaya dan selalu mengenakan cincin emas permata. Kalo jari kelingking, apa yang bisa dipamerkannya? Keempat jari lainnya meremehkan dan mengejek jari kelingking karena dia yang paling kecil, pendek, gak menonjol dan nggak banyak dipakai manusia. Apa jadinya kalau salah satu jari memilih “mogok kerja”? Kira-kira menurut kalian, jari mana yang paling penting kegunaannya? Kebanyakan orang suka berpikir bahwa jari kelingking itu gak terlalu penting karena dia gak banyak kepake. Kata siapa? Tanyakanlah pada orang-orang yang jari kelingkingnya patah, pasti performance kerja tangannya gak bisa sesempurna dulu karena sebenarnya jari kelingking itu menopang jari-jari lainnya untuk bekerja. Tanpa jari kelingking, keempat jari itu “timpang”.

Aku adalah seorang penari. Aku ikut dalam sebuah kelompok tari yang sudah banyak melakukan performance tari di luar kota maupun luar negeri. Penari inti pada waktu itu ada 7 orang, termasuk aku. Setiap kali kami tampil dalam suatu acara, selalu mengundang pujian dan tepuk tangan atas penampilan kami. Bagi orang-orang yang menonton penampilan kami, mereka selalu kagum dengan kerjasama kami yang luar biasa di panggung, padahal.......belum tahu aja mereka bahwa sebenarnya kami sering sekali bertengkar.

Masing-masing penari dalam kelompok tariku itu berasal dari latar belakang tari yang berbeda-beda. Ada yang dasar keahliannya adalah tari daerah, modern dance, street dance, ada hip-hop dance, balet dan ada yang tari tamborine. Intinya, kesemua dasar gerakan dari aliran tari tersebut berbeda-beda jadi pasti skill masing-masing kita juga berbeda. Emang sih kami semua sama-sama menari, tapi gerakannya sangat berbeda. Yang pandai tari daerah biasanya gerakannya lebih kemayu dan lemes; balet dan tamborine gerakannya sangat klasik,ringan dan seperti melayang; street dance dan hip-hop dance gerakannya agak tegas dan powerful. Nah, klo kami latihan nari bareng, masing-masing kami keukeuh(bersikeras-red)dengan pendapat masing-masing bahwa narinya kurang lemes lah, kurang ringan lah, kurang tegas lah, dll. Ujung-ujungnya kita pasti berantem mempertahankan pendapat soal gerakan macam apa yang bagus ditampilkan.

Dalam kelompok tari, kita perlu kerjasama. Gak harus kelompok tari deh, bikin tugas kelompok dari kampus juga butuh kerjasama. Kerja kantoran juga butuh kerjasama. Indonesia bisa merdeka juga, butuh kerjasama seluruh rakyatnya kan? Tapi yang namanya kerjasama itu susah juga terwujudnya, karena masing-masing kita biasanya punya skill masing-masing dan “jam terbang” yang berbeda. Jadinya, sering kan terjadi dalam kerja kelompok, kita suka ngerasa lebih jago dan lebih pandai daripada yang lain. Dalam kerjasama kelompok, kita sering meremehkan anggota kelompok yang kelihatannya kurang mampu atau masih “hijau”. Anggota yang diremehkan itu sama seperti jari kelingking. Seringkali kita lebih menghargai orang yang kemampuannya menonjol, sama seperti jari telunjuk, jempol, dll. Kebayang gak kalau dalam kelompok tariku, masing-masing kami maksa untuk menari sesuai dengan skill masing-masing tanpa berusaha menyamakan gerakan? Meski mungkin gerakan kami sama, tapi kalau cara menari kami berbeda-beda jadinya pasti tarian itu kelihatan aneh.

Pernah suatu ketika, kelompok tariku ikut dalam suatu kompetisi tari. Thanks God kami berhasil menari dengan sempurna, kompak, dengan ritme yang sama dan kekuatan gerakan yang sama. Saingan terbesar kami yaitu kelompok X juga ikut dalam kompetisi itu. Jujur harus kuakui bahwa koreografi tarian mereka saat itu sangat bagus. Kelompok X menggunakan kursi sebagai alat bantu dalam tariannya. Secara teknis, tarian seperti itu memiliki tingkat kesulitan yang lebih tinggi. Aku mulai kuatir bahwa kelompokku akan kalah. Ternyata, kelompokku menang menjadi juara pertama. Juara keduanya adalah kelompok X. Tau ngga kenapa kami menang? Kelompok X kalah dari kelompokku karena di tengah-tengah tarian mereka, salah satu anggotanya jatuh dari kursi. Meskipun awalnya bagus, tapi karena ada satu “cacat” yang terjadi, penampilan mereka secara keseluruhan langsung drop di mata para juri. Jatuh pada saat menari merupakan kesalahan fatal bagi seorang penari. Satu “cacat” saja yang terjadi, merusak kerjasama seluruh anggota kelompok. Kerjasama kelompok itu baik, tapi tidak bisa dikatakan sempurna karena ada salah satu anggota yang tidak bisa bekerja sama dengan baik.

Kami menang karena kami berhasil menari dengan sangat kompak dan sempurna. Banyak konflik terjadi antara anggota kelompok tariku, tapi kami belajar untuk tidak saling sombong dengan kemampuan masing-masing. Jujur lagi nih, sebenarnya mungkin skill anggota kelompokku masih di bawah anggota kelompok X. Namun ternyata punya skill lebih saja tidak cukup, dibutuhkan kerjasama yang baik untuk menghasilkan hasil yang optimal pula. Seperti jari-jari tangan, tiap jari juga punya kelebihan masing-masing kan? Tapi kalau salah satu dari kelima jari itu menolak bekerja sama, performance kerja tangan pasti tidak bisa sempurna dan tangan tersebut tak dapat digunakan untuk bekerja secara optimal. Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh!

By : Syelly Grace

Labels:

 
posted by Vihara Vimala Dharma | Permalink | 0 comments
Saturday, October 06, 2007,11:48 PM

Dalam artikel motivasi ditulis, bila menemukan sesuatu yang menghalangi jalan kita, harus kita hadapi. Ada batu menutupi jalan, kita melompatinya (mungkin malah jadi batu loncatan), ada penghalang kita singkirkan, ada angin kita jalan terus. Intinya kita pantang menyerah. Jadi kita tidak berhenti sampai di situ atau kita hindari dengan berbalik arah mencari jalan lain (padahal kita sudah berjalan cukup jauh).

Orang pesimis menganggapnya sebagai halangan, orang optimis menganggapnya sebagai tantangan. Sesuatu yang harus ditaklukkan. Begitu kira-kira tulis artikel motivasi tersebut untuk menyemangati kita.

Sesuatu yang terasa jadi sandungan (atau mungkin saingan dalam dunia bisnis), itu justru memacu kita agar melakukan sesuatu yang lebih agar bisa menang atau setidaknya bertahan. Baru-baru ini, di sekitar Kopo dan Cibaduyut (dekat tempat tinggal penulis) ada 4 pom bensin/ SPBU baru. Tampilan SPBU ini tentu lebih bagus daripada yang sebelumnya sudah ada. Setidaknya lebih bersih karena masih baru. Bahkan semua SPBU baru memakai cewek sebagai karyawan untuk melayani pelanggan. Cuma baru dan pelayan cewek daya tariknya? Tidak! Mereka juga mengadakan undian berhadiah. Sesuatu yang tidak pernah dilakukan SPBU lama (terlena karena saingan sedikit, seolah memonopoli).

Sekarang jelas SPBU lama jadi sepi. Satu SPBU tidak tinggal diam. Mereka juga mengadakan undian, bahkan memberi fasilitas lebih. Setiap mobil yang isi bahan bakar, kaca depannya dibersihkan! Bahkan terlihat ada galon (kemungkinan airnya hasil isi ulang), disediakan di sana. Belum jelas untuk apa, tapi kemungkinan untuk sopir angkot yang perlu air minum. Hadirnya SPBU baru bukan akhir segalanya (SPBU lama bangkrut), tapi memacu agar mereka jadi lebih baik. Ini keharusan kalau ingin tetap bertahan atau bahkan memenangi persaingan.

Hal yang sama juga terlintas di benak penulis ketika melihat layang-layang. Kalau benda lain menyerah pada angin (terbawa ke mana arah angin bertiup). Bagi layang-layang, angin justru jadi pendorong untuk “terbang” makin tinggi. Tanpa angin, layang-layang tidak bisa naik. Memang di sini ada peran manusia sebagai pemegang kendali. Tapi intinya, angin mungkin dipandang sebagai “pengganggu” dalam mencapai tujuan. Tugas kita adalah mengatur faktor pengganggu agar tidak mengganggu perjalanan kita. Atau kalau bisa, faktor yang terlihat mengganggu, justru dijadikan pendorong (seperti juga halnya perahu layar/ selancar yang bisa memanfaatkan angin untuk maju).

Tanpa “angin”, SPBU yang sudah lama, makin jelek dan tak terawat. Cat yang sudah pudar tidak dicat ulang, pelayanan tidak ditingkatkan, takaran yang tidak pas tidak diperhatikan, tidak pernah terpikir untuk “mengembalikan” sebagian keuntungan untuk menyenangkan hati konsumen seperti memberikan hadiah agar jadi pelangggan yang loyal. Hidup memang perlu tantangan (saingan) agar kita terus aktif untuk jadi lebih baik/ maju. Dan… bila ingin inspirator, layang-layang bisa jadi contoh.

Labels: ,

 
posted by Vihara Vimala Dharma | Permalink | 0 comments
Friday, October 05, 2007,11:45 PM
Liputan Open House PVVD

Hari minggu tepat tanggal 9 september 2007 PVVD mengadakan salah satu acara rutin buat menyambut anak-anak baru angkatan 2007. Acara yang dikenal dengan PVVD open House bertujuan untuk mengenalkan keorganisasian PVVD kepada umat dan teman-teman mahasiswa baru angkatan 2007.

Sejak fajar menyingsing jam 8 pagi terlihat beberapa pemuda mulai menyiapkan stand-stand yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Ada 11 stand yang ikut dalam open house tersebut yakni 10 seksi PVVD (kebaktian, kesenian, kakak asuh, Bursa, Media Komunikasi (Medkom), perpustakaan, penerbitan, taman putra, Pelayanan kasih, pendidikan ) dan stand Malam Keakraban PVVD 2007 (MAKRAB).

Setelah persiapan semuanya beres, tiba saat kita melihat kemampuan tiap stand untuk menarik minat umat agar ikut dan melihat mengenai stand mereka. Setelah kebaktian gabungan selesai, terlihat mulai aksi tiap stand. Berbagai games, quiz dan informasi tiap seksi serta MAKRAB disuguhkan buat pengunjung yang hadir saat itu.

Namun yang cukup disayangkan, target utama PVVD open house yakni mahasiswa-mahasiswi baru angkatan 2007 kurang memadati vihara tercinta kita ini. Jumlah yang hadir juga tidak tergolong cukup tinggi.

Buat teman-teman semua yang sudah bekerja keras menyukseskan acara PVVD open house, tetap semangat! Pantang menyerah! Terus maju! Pantang mundur! Kita ciptakan kondisi PVVD yang kondusif untuk bersahabat, berkarya, melatih diri, dan tentunya belajar Dhamma.

Terima kasih..

Labels:

 
posted by Vihara Vimala Dharma | Permalink | 0 comments
Thursday, October 04, 2007,11:39 PM
Makna di Balik Tradisi

Sebagian besar pemuda vihara kita adalah mahasiswa. mereka datang ke Bandung untuk menuntut ilmu. konsekuensi dari keputusan tersebut adalah mereka harus bisa hidup mandiri, bersedia jauh dari orangtua dan keluarga. sungguh kebetulan, saya adalah orang bandung, jadi tidak perlu jauh dari orangtua. ada suatu kebiasaan yang tidak pernah lepas dari kehidupan keseharian saya. mungkin teman-teman juga melakukan kebiasaan ini ketika berkumpul bersama keluarga tercinta.

Sejak kecil, mama selalu mengajarkan saya untuk berkata "pa, makan" atau "suk, makan" sebelum menyantap makanan yang tersedia di meja makan (suk = panggilan saya untuk adik kandung papa atau istrinya -- sukmeh). tujuan dari kata-kata ini adalah menunjukan rasa terima kasih karena papa telah bekerja keras untuk menyediakan makanan tersebut. hal ini berguna untuk mengingatkan bahwa mereka telah memberikan kesempatan kepada saya untuk terus berkembang dan bertahan hidup. hal ini supaya kelak saya akan ikut teladan mereka. Hal ini menggambarkan bahwa saya harus menghargai mereka yang telah berkorban untuk saya. Walaupun kalimat yang diucapkan sangat pendek dan sederhana bahkan dari luar terlihat sepele, maknanya sangat mendalam. masih banyak hal lain yang dapat kita petik dan renungkan dari kalimat tersebut dan tidak dapat saya tuliskan satu persatu di sini.

Sampai saat ini, kebiasaan tersebut masih melekat pada diri saya. rasanya aneh kalau makan tanpa berucap demikian ketika melahap hidangan bersama keluarga. hanya saja ada sedikit perbedaan dengan ucapanku ketika masih kecil. sampai saat ini, dengan sadar saya berucap dan memaknai kalimat pendek tersebut. Sayangnya, terkadang saya lupa akan makna ucapan ini, terutama ketika sedang kesal atau terburu-buru. Untuk masa yang akan datang, ritual ini akan terus saya lakukan. Waktu terus berlalu dan saya pun akan semakin tua. ritual ini sudah menjadi suatu kebiasaan dan seiring berjalannya waktu, ucapan demikian hanyalah akan menjadi sekadar kebiasaan. suatu saat nanti, karena satu dan lain hal, saya tidak bisa lagi mengingat apa makna dari kata-kata tersebut. saya hanya akan mengucapkan kalimat pendek ini tanpa memaknai artinya. kadang saya berkata demikian hanya untuk mengikuti tradisi saja. kadang saya mengucapkan demikian supaya terlihat peduli. bahkan karena sudah tidak tahu lagi untuk apa saya berkata demikian, mungkin saya akan menolak mengeluarkan kalimat tersebut.

Mungkin teman-teman menerka bahwa saya berpikir terlalu jauh, namun sesungguhnya pemikiran ini muncul dari apa yang saya temukan pada kehidupan sekarang. kenyataan masa kini…

Analogikan kalimat yang selalu kuucapkan tersebut sebagai sebuah salam. salam yang 'biasanya' dilontarkan oleh keluarga tertentu. atau salam yang selalu terdengar dari sekelompok orang tertentu, misalnya sekelompok orang yang mempunyai kepercayaan yang sama. bayangkan mereka mengucapkan salam setiap kali hendak makan. bayangkan mereka mengucapkan salam setiap mereka berjumpa.

Analogikan juga waktu yang saya alami waktu kecil adalah masa awal. dimana mereka mengerti tentang makna salam yang mereka ucapkan. salam yang manjadi lambang teladan akan kebaikan sesuatu. dan ketika saya tua adalah beberapa tahun kemudian, mungkin ratusan tahun kemudian. ketika itu generasi tentu telah berganti. karena mereka yang hidup di masa awal mengerti makna dari ucapan-ucapan tersebut, tentu kalimat tersebut mereka turunkan pada anak cucunya. bertahun-tahun kalimat tersebut diucapkan tetapi maknanya memudar. generasi berganti generasi lagi, sekarang bahkan maknanya menghilang, walaupun masih ada sekelompok kecil yang mengerti. sebagian dari mereka hanya mengikuti tradisi saja, sebagian lainnya mengucapkan demikian supaya terlihat peduli. dari luar kelihatannya masih baik-baik saja. karena sulit sekali mengetahui isi pikiran seseorang, maka tidak ada yang mempermasalahkan hal ini.


Apa yang saya tuliskan disini adalah skala kecil. untuk skala yang sedikit lebih besar, analogikan kalimat "pa, makan" sebagai suatu kegiatan. suatu kegiatan yang sedari dulu sudah dikerjakan, rutin, bahkan hingga kini. bayangkan suatu kegiatan yang dilakukan tiga kali sehari atau kegiatan yang dilakukan setiap minggu pagi. tetapi bahkan kita tidak tahu maknanya, bahkan sebenarnya kita bingung untuk apa kita melakukan hal itu. ini semua hanyalah sekadar rutinitas yang rasanya aneh kalau tidak dilakukan.

Bisakah kita mengubah mereka kembali ke masa dimana "ucapan" tersebut benar-benar diucapkan dan dimaknai? bisa! caranya dengan mengubah diri kita sendiri.

Oleh : THOMAS

Labels: ,

 
posted by Vihara Vimala Dharma | Permalink | 0 comments
Wednesday, October 03, 2007,11:55 PM
 
posted by Vihara Vimala Dharma | Permalink | 0 comments
,11:13 PM
BVD Kecil

Labels:

 
posted by Vihara Vimala Dharma | Permalink | 0 comments