Wednesday, January 02, 2008,7:08 AM
Mencari Arti Kebahagiaan

Sebenarnya, apakah Kebahagiaan itu? Apa jika kita mendapat uang dan materi yang tercukupi adalah suatu kebahagiaan? Atau, jika kita bisa memperoleh kesuksesan dalam kuliah dan pekerjaan adalah suatu kebahagiaan? Atau mungkin, jika cinta kita pada seseorang, terbalas adalah kebahagiaan?

Pelan-pelan, saya berusaha mencoba menelusuri arti kebahagiaan ini. Sampai pada saatnya tiba, waktu yang menjawab segalanya. Pada tanggal 26 November kemarin, saya mendapat telepon penting dari papa, di saat saya sedang hendak berangkat kuliah. Katanya Oma sakit. Bukan hanya sakit, tetapi koma. Hal itu tentu mengejutkan saya yang sejujurnya lebih dekat dengan oma daripada papa dan mama, mengingat papa dan mama lebih sering meninggalkan saya dengan pekerjaannya. Seharian saya berharap supaya, hal ini tidak serius. Saya tidak ingin ditinggalkan disaat saya belum berbuat apa-apa untuk mencintai oma lebih baik. Saya tidak ingin menyesal.

Besoknya, papa menelepon lagi. Papa bertanya apakah saya bisa pulang? Hari itu, saya sedang benar-benar sibuk. Banyak mata kuliah dan dua kursus yang saya ambil. Tapi, Mendengar suara papa bergetar di sana, perasaan tidak ingin menyesal ini membuat saya langsung mengambil keputusan untuk pulang. Dan saya

pulang, meninggalkan tugas yang menumpuk dan janji-janji yang penting. Bahkan merelakan satu mata kuliah fail.Saya pulang.

Sesampainya saya di kota kelahiran, saya langsung menuju rumah sakit. Dan nyatanya, oma dirawat di ICU. Yang saya lihat pertama kali adalah oma, dan tangis saya meledak. Entah kenapa, rasa bahagia ini tidak ada dimanapun. Segala sesuatu yang membuat saya tersenyum, tidak terlintas sama sekali di benak saya.

“Oma, ini saya, oma kenapa tidur saja, oma bangun yuk” bisik saya berulang-ulang. Karena oma tidak bangun juga, saya hanya menggenggam tangannya dan membacakan paritta, berharap semoga karma baik saya datang. Saya rela melimpahkan segala jasa baik saya kepada oma. Semoga oma sehat dan bahagia.

Setelah saya keluar dari ICU, saya duduk di ruang tunggu. “Di sini, semua orang terlihat tersenyum, padahal raut wajahnya lesu” ujar seorang ibu-ibu.

Saya mengamatinya, dan kemudian mengamati semua orang di ruang tunggu. Terlihat ibu berkerudung, menangis sendu. Anaknya baru saja meninggal 2 jam yang lalu. Lalu saya melihat seorang tante yang berlari sambil menggandeng tangan anaknya, dia terburu-buru memasuki ruang ICU. Beberapa orang lagi, berlari menyusul si tante. Tak beberapa lama, mereka keluar dari ruangan itu. Beberapa duduk-duduk di lantai, menatap kosong pada kolam di depan. Beberapa lagi mengobrol bersama yang lain. Hanya saja, persamaan mereka, wajah mereka sama, sendu, pilu.

“Papa drop lagi!” Seru si tante. Maka semua orang kerabat keluarga itu pun ikut terburu-buru memasuki ruangan

Saya tidak masuk, hanya menyaksikan dari ruang tunggu, betapa mengerikannya berada di sini. Pemandangan yang sangat menyakitkan. Seperti berada di medan perang, menyaksikan orang-orang bertahan hidup dari penyakitnya, sementara keluarganya terus-terusan dalam keadaan yang tak pasti.

Si kakek, ayah tante tersebut, sudah berumur 80-an. Dia menderita kanker liver. Beberapa orang di ruang tunggu membicarakannya. Mereka mengatakan sudah lebih dari satu minggu, si kakek berada di ICU. Hal ini membuat saya berpikir, jika dalam satu hari saja, ICU membutuhkan uang 8 juta. Bagaimana dengan orang-orang tak mampu yang sekarang benar-benar sedang berjuang bertahan hidup? Apakah nyawa mereka direlakan begitu saja oleh keluarganya atas dasar ketidak mampuan financial mereka?

Saya tersadar dari lamunan, saat keluarga si tante keluar dari ruang ICU. Dan si tante berjalan menuju kamar mandi. Saya juga melihat adik kelas saya, Dia juga merupakan keluarga si tante. Tak lama, Tante itu berlari, matanya memerah, dia terlihat terburu-buru berlari kembali ke ruang ICU.

“Katakan padanya, papa sudah ngga ada” Kata tante yang lain.

5 menit. Bagi saya, terasa seperti 5 jam. Dan mereka keluar. Menangis. Tangisannya begitu pilu dan menyayat. Mereka duduk di depan saya,menangis, histeris. “Maaf, papa saya baru meninggal barusan, 12.15” Ujar tante itu sambil menelepon.

Pemandangan ini begitu menyayat hati. Kehidupan di luar ICU mungkin berputar, tapi kehidupan di ruang tunggu ini, seperti mati. Kita semua menunggu sesuatu yang tak pasti. Kapan seseorang yang kita cintai yang ada di dalam, kembali sadar? Tak pasti. Dan saya pun hanya duduk di sini. Entah untuk berapa lama, nasib saya pun tak pasti, kapan pulang ke Bandung.

“Keluarga Gunawan” Ujar si suster tiba-tiba. Dan beberapa anggota keluarga Gunawan, terkejut panik, dan segera memasuki ruang ICU.

Panggilan suster seperti bom bagi tiap keluarga, dan keluarga-keluarga itu menunggu, hanya menunggu untuk hal yang tak jelas kapan, sementara waktu mereka terbuang. Tapi mereka tak beranjak, mereka tetap menunggu, mereka begitu mencintai ‘seseorang’ di dalam ICU. Entah berapa waktu dan uang yang mereka relakan.

Ruang Tunggu ICU, yang saya biasa lewati, saya sebelumnya tak pernah menyadari, bahwa sebuah ruang tunggu, adalah ruangan yang mengerikan. Begitu pilu. Begitu menyedihkan. Dalam satu hari saya menunggu, sudah 3 orang meninggal dan keluarganya menangis di depan saya. Tiba-tiba saya menyadari apa artinya sebuah kebahagiaan?

Kebahagiaan bagi saya adalah, jika bisa melihat orang yang saya cintai sehat dan bahagia. Maka segalanya, cukup bagi saya. Dan bagi kalian, yang entah berada di mana, menderita seperti apa, dan mengalami masalah seberat apapun, sadarilah, bahwa kalian jauh (JAUH!!!) lebih bahagia daripada orang-orang yang berada di ruang tunggu ICU, yang entah sampai kapan, digantungkan kehidupannya berada di sana…….

Dan saya berdoa, untuk oma , semoga dia terlahir di alam yang lebih baik. Sabbe Sankhara Anicca….

Labels:

 
posted by Vihara Vimala Dharma | Permalink |


0 Comments: