Sebuah artikel bebas yang kutulis tatkala melintasi laut lepas ………
KM. Mabuhay Nusantara ( Belinyu – Tanjung Priok )
Jumat, 17 agustus 2001, pk. 09.55 wdak, MERDEKA !!!
“ Saat langkah tak lagi searah…
Terlalu banyak keinginan tak terbatas … “
Seringkali kita senandungkan lagu tersebut saat sendiri maupun bersama teman – teman, vokal grup kita pun seringkali mendendangkannya. Tapi entah … apakah seringkali pula kita senandungkan makna syairnya dalam pikiran kita. Entahlah … yang jelas saat kutulis ini, syair tersebut sedang bersenandung di dalam pikiranku, dan melalui tulisan ini, semoga anda juga turut bersenandung bahkan melantunkannya di dalam pikiran – pikiran anda.
Awalnya saya pun teringat dengan lirik sebuah soundtrack sebuah film ternama yang dibintangi oleh Whoopie Goldberg. Ya… ‘ Sister Act II ‘….
“ ain’t no mountain high enough … …
ain’t no mountain high enough … … “
Bayangkan di sebuah pentas kehidupan ini, dimana roda kehidupan terus berputar, kita berperan sebagai pendaki gunung dimana tak ada lagi gunung yang cukup tinggi untuk kita daki. Begitu pula keinginan kita. Sepertinya tak ada lagi gunung – gunung kepuasan yang cukup tinggi untuk memenuhi tanha, nafsu keinginan para mahluk. Rasanya masih kurang tinggi …. Begitu selalu !! Ingin mendaki lebih tinggi lagi, namun apa daya gunung – gunung tersebut tak mampu melayani kepuasan kita. Apa benar keinginan kita memang tak terbatas ?
Sebuah rumah memiliki pagar batas sebagai tanda perbatasan dengan tetangganya ; sebuah negara memiliki batas teritorial dengan hukum yang jelas, bahkan cakrawala pun memiliki batas. Bagaimana mungkin keinginan kita tidak terbatas ??
Jika memang demikian adanya, betapa hebatnya keinginan kita … …
Sebuah batas janganlah diartikan terlalu lugas. Adalah suatu perbedaan pandangan bila ada sebuah pernyataan yang berbunyi “ Ruang Tanpa Batas “. Bagaimana sesuatu bisa dikatakan sebagai ruang bila itu adalah tanpa batas. Setidaknya itulah konsep ruang yang kutafsirkan dalam bidang arsitektur yang kugeluti. Bagaimana sesuatu dapat dikatakan sebagai ruang, bila itu adalah tanpa batas ? Dikatakan sebagai ruang justru karena adanya batas – batas tersebut yang membentuk ruang tersebut. Tak perduli walaupun batasnya hanyalah sebuah tiang bendera misalnya, itupun sudah dapat membentuk suatu ruang. Jadi ruang lingkup batas tidaklah sedangkal itu.
Kembali mengenai hebatnya keinginan kita yang tanpa batas tadi. Bukan main bukan bila kita memandangnya dengan batasan ‘batas’ diatas. Lalu dengan pernyataan tersebut, apakah memiliki suatu keinginan adalah sama sekali tidak baik ? Rancu sekali dengan anjuran –anjuran ataupun nasihat – nasihat agar kita selalu menumbuhkan keinginan untuk berbuat baik. Misalnya keinginan untuk membantu orang lain, keinginan melaksanakan sila, keinginan mempraktekkan Dhamma, dsb. Apakah sederet keinginan tersebut juga tidak baik ??
Berpikir secara idealis, saya beropini bahwa satu – satunya keinginan yang perlu kita kembangkan sebenarnya adalah “ Keinginan untuk meredam semua keinginan “. Jadi …. Keinginan berbuat baik pun apa perlu diredam ? Bukan demikian pula halnya. Jika boleh saya istilahkan, keinginan yang perlu kita kembangkan dapat dikategorikan menjadi 2 macam, yaitu keinginan jangka panjang dan keinginan jangka pendek. Keduanya sama baik. Keinginan jangka panjang adalah bagaimana kita berkeinginan untuk meredam semua keinginan yang ada, dan keinginan jangka pendek maksudnya adalah keinginan berkarma baik. Untuk saat sekarang rasanya baik jika kita mengembangkan keduanya secara paralel, mengingat kita adalah mahluk yang masih terikat 12 nidana, dimana panca indera kita masih berperan banyak sehingga rentan menimbulkan pencerapan, kemelekatan, dll.
Oleh karena itu keinginan kita pun harus memiliki batas jika cakrawala ini pun memiliki batas, mengingat kita pun mahluk yang hidup di cakrawala yang terbatas itu. Ya setidaknya kita bisa istirahat sejenak bila satu atau dua gunung kepuasan telah kita daki, dimana satu atau dua keinginan kita telah terpenuhi, karena …
“ ain’t no mountain high enough … …
ain’t no mountain high enough … … “
Labels: BVD Februari, Vegetable soup for our mind