Anda mungkin pernah mendengar istilah "ilmu padi" yang diartikan makin berisi, makin merunduk. Orang diharapkan meneladani ilmu padi, makin berilmu, makin merunduk. Makin merendah, tidak sok jago.
Demikian pula salah satu sifat air yang penulis lihat. Bukan karena makin berisi (makin hebat) saja, air merendah (dalam artian mengalir menuju ke tempat yang lebih rendah). Meski hanya setetes, tetap saja menetes ke bawah karena pengaruh gravitasi. Air selalu bergerak ke tempat yang lebih rendah, begitu salah satu sifat air yang diajarkan guru saat masih SD dulu.
Itu salah satu sifat air yang bisa diteladani. Mengajarkan kita selalu "low profile". Tidak sombong, apalagi bertindak semena-mena, seperti kesadisan yang sedang dipertontonkan junta militer Myanmar. Aksi damai bhikkhu dan rakyat Myanmar untuk perbaikan negerinya, malah disambut dengan tembakan peluru tajam. Banyak rakyat dan bhikkhu yang terbunuh. Akses informasi keluar dan masuk ditutup, tetapi tetap saja foto sebagai bukti kekejaman tentara Myanmar tersebar ke dunia (penulis menerima kiriman email dari teman berisi 16 foto korban kekejaman supersadis junta militer Myanmar, termasuk bhikkhu jadi korban). Betapa sadis tindakan tentara menghadapi aksi damai.
Kekerasan junta militer menarik simpati dunia. Demo di mana-mana menuntut agar kekerasan segera dihentikan. Semoga dengan bantuan organisasi dunia seperti PBB, kekerasan di Myanmar segera bisa berakhir. Rakyat bisa hidup lebih baik setelah puluhan tahun hidup dalam tekanan.
Kembali ke soal air. Air, terlihat sangat lembut. Tapi dalam jumlah besar (dalam hal ini, perjuangan rakyat Myanmar dan dukungan orang-orang dunia yang cinta damai), akan jadi kekuatan mahabesar. Semoga kekuatan "air bah" ini akan bisa mengubah keadaan (junta militer tersingkir), atau setidaknya terbentuk pemerintahan yang lebih baik daripada pemerintahan yang selama sangat represif.
Hendry Filcozwei Jan
Labels: BVD November, Introspeksi