Liputan
By: HWH
Dunia Fantasi
Setiap hari kuliah atau bekerja apa tidak membuat kita bosan? Tentu saja bosan! Tapi untuk apa mengeluh? Yang terbaik adalah mengurangi rasa bosan itu. Bagaimana caranya? Lakukan sesuatu yang jauh berbeda dengan apa yang kita lakukan sehari-hari! Kalau biasanya kita selalu duduk di dalam kelas mendengarkan kuliah para dosen, berkutat dengan tugas-tugas atau setiap hari memeriksa file-file di kantor, maka carilah waktu di mana kita bisa terlepas dari semua itu. Tentunya tidak dengan cara bolos kuliah atau kerja. Itu solusi yang buruk tentu saja.
Seperti yang minggu lalu (16/10) dilakukan para Pemuda-pemudi Vihara Vimala Dharma (PVVD). Berlibur ke Dufan! Kita bisa melupakan segala kejenuhan akibat rutinitas kita. Membiarkan diri kita bersorak gembira tanpa batasan atau aturan dari dosen maupun bos kita. Atau kekangan-kekangan lainnya. Ekspresikan saja diri Anda saat harus menjerit di arena Halilintar (roller coaster). Atau basah-basahan saat ber-Arung Jeram dan ber-Niagara-gara. Siapkan juga diri untuk diputar-putar di atas kicir-kicir.
Total rombongan yang berangkat adalah tiga puluh dua orang, dengan menggunakan bus berplat Z, Cirebon. Susana dalam bus cukup meriah, artinya banyak peserta yang asyik bercanda atau berbincang-bincang. Waktu sekitar dua jam pun terasa cepat sekali berlalu. Dan saat melihat keluar jendela tahu-tahu rombongan sudah sampai. Tiket, kupon makan dan sebagainya segera diurus. Begitu selesai, rombongan segera turun dari bus dan menjelajah daerah sekitar Dufan (saat rombongan tiba, Dufan masih belum buka).
Panas ya! Kata beberapa orang. Sudah pasti! Ini Jakarta, kata yang lainnya. Ya, udara di Jakarta memang gerah. Jelas berbeda dengan Bandung yang lebih sejuk meskipun saat ini Bandung mulai bertambah panas.
Tempat antrian masuk sudah dijejali beberapa pengunjung lain. Udara yang sangat panas sesungguhnya membuat orang malas untuk mengantri. Apalagi gerbang antrian masih belum dibuka. Tapi apa boleh buat, kalau tidak mengantri, kapan masuknya?
Para pengunjung segera berhamburan menuju tempat-tempat yang ingin mereka kunjungi. Rombongan kita sendiri terpecah menjadi dua. Di sini terlihat sekali kalau manusia memang memiliki hasrat dan kepentingan yang berbeda-beda.
“Para pengunjung yang takut akan ketinggian supaya ….” Begitulah sepenggal peringatan yang disampaikan para pengawas arena bermain. Peringatan seperti itu memang bukan isapan jempol. Bagi mereka yang tidak terbiasa, akan mengalami sport jantung yang cukup hebat. Aaaah…!!! Suara teriakan terdengar cukup jelas. Tidak jelas ekspresi wajah kita berubah seperti apa saat itu. Yang jelas, teriaklah agar tidak merasa ngeri atau ketakutan.
Arena bermain seperti bom-bom car menjadi tempat paling disukai rombongan kita. Sekitar lima kali rombongan kita rela mengantri untuk memainkan permainan yang satu ini. Aksi saling tabrak (bukan saling labrak tentunya), terjadi disana-sini. Hasilnya, kenang-kenangan memar di beberapa bagian tubuh dibawa hingga beberapa hari.
Selanjutnya permainan kapal ayun atau Kora-kora. Aneh tapi nyata, penyuka permainan ini lebih banyak rombongan wanita. Teriakan mereka juga lebih nyaring. Semakin kencang teriakan kita semakin kecil rasa takut kita. Jadi, berteriaklah saat Anda merasa ketakutan.
Pemandangan malam hari cukup indah. Kelap-kelip lampu di sekitar Dufan tampak begitu bervariasi dan menarik perhatian. Tapi rombongan kita tidak bisa berlama-lama lagi. Waktunya untuk pulang. Sebelum pulang, rombongan kita sempat menyaksikan tari-tarian dari Amerika Latin dan Eropa yang dipersembahkan sanggar teater Dufan bagi para pengunjungnya.
Akhirnya rombongan kita pulang dan sampai di Bandung sekitar jam sebelas kurang. Para peserta segera pulang ke tempat masing-masing.
Buat Sie. Olah Raga dan Rekreasi, terima kasih untuk jalan-jalan yang menyenangkan seperti ini. Ditunggu jalan-jalan yang berikutnya!
Setelah bekerja sepanjang musim mengumpulkan kekayaan, suatu waktu sisihkanlah sedikit penghasilan Anda untuk memanjakan diri Anda. Sisa berikutnya akan lebih baik lagi bila didanakan. Anda akan gembira jika hasil jerih payah Anda bisa membuat Anda bahagia, membuat orang lain bahagia.
-Huiono-
♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥
Info PVVD
***
Pada hari minggu (16/10), diadakan Dharma Class oleh Shien Tao Fa She di Vihara Vimala Dharma.
***
Pada hari Minggu (23/10) diadakan kebaktian Hari Kathina mulai pukul 09.00 - 12.00 WIB di Vihara Vimala Dharma.
♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥
Artikel Dharma
Bhikku Vajhiradhammo
Ringkasan edisi-edisi sebelumnya:
Dalam kehidupan sehari-hari setiap orang pasti menghadapi dan mengalami dua fenomena yang berlawanan. Sebagaimana yang tersirat dalam Catur Arya Satyani, yaitu tentang adanya dukkha yang berarti senang dan susah yang silih berganti dan sulit dipertahankan.
Sang Buddha telah melakukan introspeksi terlebih dahulu dalam dirinya sendiri. Yaitu saat masih sebagai Pangeran Siddharta. Beliau merasakan hidupnya tidak bahagia dan diliputi perubahan-perubahan. Terutama saat beliau melihat empat peristiwa seperti; orang tua, orang sakit, orang mati dan pertapa suci. Lalu saat menjadi pertapa beliau mendengar syair lagu dari sekelompok pengamen, yang membuatnya menyadari bahwa melakukan penyiksaan diri selama bertahun-tahun adalah suatu kekeliruan, sehingga beliau mengambil jalan tengah dan mencapai pencerahan tertinggi.
Untuk memulai introspeksi, maka harus dimulai dari pikiran. “Pikiran adalah pelopor dari segala sesuatu, pikiran adalah pemimpin dari segala sesuatu, pikiran adalah pembentuk segala sesuatu. Bila seseorang berbicara atau berbuat dengan pikiran murni, maka kebahagiaan akan mengikutinya bagaikan bayang-bayang yang tak pernah meninggalkan bendanya.” (Dhammapada I.2)
Pancasila Buddhis adalah lima arah penting dalam pengendalian diri umat Buddha yang harus dilatihkembangkan. Pancasila juga sering disebut sebagai lima latihan moral/ perbuatan baik. “Sebaiknya seeorang tidak melakukan perbuatan jahat, karena di kemudian hari perbuatan itu akan menyiksa dirinya sendiri. Lebih baik seseorang melakukan perbuatan baik, karena setelah melakukannya dia tidak akan menyesal.” (Dhammapada XXII.314)
Dengan melatih lima Sila Pancasila Buddhis dalam kehidupan sehari-hari, maka kehidupan bahagia yang akan kita peroleh. Pengendalian diri dan kewaspadaan merupakan hal penting dalam menjalani kehidupan ini, sehingga membawa diri kita pada pembebasan sejati. “Jadilah pelita bagi dirimu sendiri. Jadilah pelindung bagi dirimu sendiri. Janganlah meyandarkan dirimu pada perlindungan dari luar. Peganglah teguh Dharma sebagai pelita. Peganglah teguh Dharma sebagai pelindung. Jangan mencari perlindungan di luar dirimu. (Dhammapada II.100)
D. Kesimpulan
Begitu jelasnya Sang Buddha mengajarkan hal-hal yang berkenaan dengan pembenahan dalam diri sendiri. Sebab hanya melalui diri sendirilah seseorang dapat memulai suatu kebahagiaan. Jadi, dalam mengoreksi diri sendiri, mulai dari pikiran, ucapan hingga perbuatan harus dilakukan oleh diri sendiri. Ketiga-tiganya harus seiring, sejalan dan saling mendukung. Bila hanya pikiran tanpa tindakan, maka hanya angan-angan yang melayang-layang. Dan sebaliknya bila tindakan tanpa pikiran yang benar maka perbuatan akan mudah terjerumus ke hal-hal yang salah dan akhirnya diri sendiri maupun orang lain yang menderita.
Oleh karena itu, janganlah kita menyalahkan orang lain. Sebab bila kita menyalahkan orang lain, maka kita telah menanam benih-benih kebencian. Maka itu, introspeksi diri sendiri sangat penting. Dan bila setiap individu telah melakukan pembenahan diri masing-masing, maka sudah tidak akan terjadi permusuhan, karena sudah saling menyadari kekurangan masing-masing.
“Jangan berbuat jahat, tambahkan kebajikan, sucikan hati dan pikiran, inilah inti ajaran Buddha.” (Dhammapada XIV.183)
Untuk membantu seseorang dalam menjalankan hidup sederhana yang benar, terutama sesuai dengan agama Buddha, maka harus memiliki beberapa hal seperti berikut ini:
Memiliki dasar Sila yang sempurna
Memiliki pencaharian yang benar (Samma-ajiva)
Tidak suka menghamburkan kekayaan
Memiliki semangat (Virya) dan suka berdana.
Referensi :
Widya Dhamma Pandita S. 1999, Intisari Agama Buddha. Jakarta, Cetya Vatthu Daya
Pyinnyathita Venerable. 1999, Menuju Keharmonisan Hidup Bermasyarakat, Bandung, Vihara Vimala Dharma.
………………… 1980, Kebahagiaan Dalam Dharma, Jakarta, Majelis Buddhayana Indonesia.
K. Wijaya Mukti. 1993, Di atas Kekuasaan dan Kekayaan, Jakarta, Yayasan Dharma Pembangunan.
♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥
Artikel Dharma
Sejarah Buddhisme Tibetan
Buddhisme diperkenalkan pertama kali sekitar tahun 173, pada masa pemerintahan Raja Lha Thothori Nyantsen. Secara bertahap Budddhisme diasimilasikan, ditanamkan, dan akhirnya terintegrasi ke dalam cara hidup orang Tibet berkat usaha yang dipelopori para raja religius. Raja Song Tsen Gampo menjadi Raja pada usia 13 tahun dan membangun dua buah kuil bernama Rasa Trulnang Tsuglag Kbang dan Ramoche Tsuglag Khang di Lhasa. Beliau mengirim menterinya yang bernama Thonmi Sambhota ke India untuk mempelajari bahasa Sanskerta dan tulisannya. Thonmi Sambhota kemudian menciptakan huruf Tibetan berdasarkan model dari salah satu aksara yang berkembang di India.
Hendry Filcozwei Jan
Ada hal-hal positif di balik peristiwa negatif, ini bisa menjadi pelajaran berharga. Setidaknya pengalaman (yang sering disebut guru yang paling berharga) untuk masa yang akan datang, agar peristiwa serupa tidak terulang.
Penulis coba menyajikan beberapa cerita “negatif” yang tidak biasa dan menuliskan sisi positif di baliknya. Tulisan ini bukan sebagai pembenaran atas hal “negatif” tersebut, hanya mencoba memotret dan menampilkan realita yang ada. Sekedar buat pengalaman.
Telat tapi lebih cepat
Saat masih kuliah, penulis pernah kost di daerah jalan Bukit Besar, Palembang (daerah kampus Universitas Sriwijaya). Salah seorang teman kost penulis adalah wartawan Sriwijaya Post (koran lokal Palembang). Sebagai sesama peminat dunia jurnalistik, kami sering diskusi. Salah satu cerita beliau adalah koran tempatnya bekerja pernah telat terbit 2 jam sampai ke pembaca. “Wah… jadi kalah dong dari koran lain?” komentar penulis. “Memang kami telat 2 jam, tapi berita yang kami hadirkan lebih cepat 1 hari daripada koran lain” ucapnya sambil tersenyum. “Kok bisa?” tanya penulis.
Seperti biasa, deadline koran pukul 12 malam. Semua naskah sudah beres dan siap naik cetak. Tapi sekitar pukul 23.00 WIB ada peristiwa besar. Penjahat kelas kakap yang selama ini buron tertangkap. Saya langsung telpon kantor, bisa nggak deadline diundur. Saya punya berita besar yang bisa jadi headline, dalam waktu sekitar 1-2 jam beritanya siap di redaksi. Kantor setuju. Saya langsung meliput ke kantor polisi (wawancara kapolsek, memotret) dan siapkan berita. Koran kami memang telat terbit 2 jam, tapi beritanya lebih cepat 1 hari (koran lain baru memuat berita tersebut keesokan harinya). Atau paling cepat, koran sore yang memuat berita tersebut.
“Manfaat” Jam Karet
“Huh… dasar jam karet! Sudah 1 jam kita menunggu, dia baru datang.” Anda pasti sudah sering mendengar keluhan seperti itu.
Tidak banyak yang tahu, di Indonesia pernah diadakan simposium tentang jam karet atas prakarsa Sudomo (mantan pangkopkamtib). Atas prakarsa uniknya (mungkin juga pertama di dunia) ini pula, beliau tercatat di Muri. Demikian yang pernah penulis baca dari buku Kaleidoskopi Kelirumologi-nya Dr. Jaya Suprana.
Sebagian besar peserta sepakat, jam karet hanya menghasilkan hal-hal negatif. Kerjaan terhambat, menyita waktu, pemborosan dana, dan lain-lain. Tapi ternyata, ada hal “positif” dari jam karet ini. Anda tahu? Dalam nada canda, ternyata karena tradisi jam karet di Indonesia inilah, teroris susah membunuh dengan bom waktu! Tradisi jam karet mengacaukan teroris untuk pasang bom waktu. Coba bagi yang tepat waktu, jam 07.00 naik mobil ke kantor, jam 07.30 di jalan ini, jam 08.00 di kantor dan seterusnya. Taruh bom waktu di mobil, tepat jam 07.10 meledak, sang target pasti mati. Tapi kalau yang jam karet, mobil meledak jam 07.10, orangnya masih sarapan atau mungkin masih mandi. Eit… nggak kena… he… he… he…
Tidak dipublikasi, tercatat di Muri
Dalam pengujian rekor Muri akhir-akhir ini, pesertanya selalu membludak. Saat penulis mengajukan rekor menara uang (Agustus 1998), hanya ada 5 calon rekoris (pemegang rekor -red.) termasuk penulis. Pada koran yang terbit keesokan harinya, aksi ke-5 calon rekoris diberitakan.
Berbeda dengan pengujian rekor yang baru-baru ini penulis ikuti (Januari 2005). Ada 31 calon rekoris! Jangan heran bila melihat koran keesokan harinya, hanya beberapa aksi calon rekoris yang diberitakan. Biasanya koran memberitakan yang benar-benar unik (dan terlihat), begitu juga televisi. Andai Anda mengajukan rekor sebagai penulis puisi terbanyak, dan yang lain mengajukan rekor sebagai manusia terberat, manusia tertinggi, manusia terpendek, aksi melipat tubuh dengan variasi terbanyak, rambut terpanjang, dan lain-lain. Hampir bisa dipastikan nama dan foto Anda tidak akan muncul di koran dan TV. Sosok Anda kalah menarik daripada calon rekoris lain. Hal ini pula yang dikeluhkan rekan penulis.
Mengapa harus sedih bila tidak diberitakan? Justru ada nilai positif di balik hal itu. Mengapa? Setiap usulan rekor, harus menunggu 1 bulan dulu. Bila ada klaim dari masyarakat yang punya kemampuan, koleksi, data yang lebih daripada yang Anda usulkan, rekor Anda gugur. Karena tidak diberitakan, maka tidak banyak yang tahu usulan rekor Anda (hanya calon rekoris, keluarganya, dan wartawan yang tahu). Anda baru menulis 100 buah puisi dan semua puisi itu telah dimuat di media massa, lalu mengajukan usulan rekor sebagai rekoris penulis puisi terbanyak. Mungkin banyak penulis puisi dengan prestasi lebih dari 100 puisinya dimuat di media massa, tapi karena usulan rekor Anda tidak diberitakan, mereka tidak tahu. Karena tidak tahu, tidak ada klaim dari masyarakat. Itu artinya Anda akan tercatat sebagai rekoris Muri. So… mengapa harus bersedih?
Artikel Bebas
Karma dan Kasta
By: Willy Yanto Wijaya
Hhheewwh.........., di artikel saya yang berjudul “Benarkah Agama Buddha Lahir karena Sistem Kasta??” yang dimuat di BVD Desember 2004; saya menyatakan akan mengulas lebih jauh tentang sistem kasta. Bulan demi bulan berlalu, akhirnya saya berhasil meneguhkan diri dan mengambil sedikit keluangan waktu untuk memenuhi "janji" saya di atas dan menulis artikel ini.
Kasta atau sistem kasta. Apa yang ada di bayangan Anda ketika mendengar kata ini? Tentu kebanyakan dari Anda akan memandang sistem kasta ini sebagai suatu sistem kuno yang sudah ketinggalan zaman. Tapi, pernahkah Anda berpikir kritis mengapa sistem yang kuno dan usang ini (dalam pandangan Anda saat ini) bisa bertahan sedemikian lamanya di India.........selama ribuan tahun bahkan sampai detik ini!!! Apakah orang-orang India sedemikian bodohnya mau hidup dalam sistem seperti ini?
Logika apa yang dipakai golongan brahmana untuk menopang cengkraman sistem kasta ini dalam alam bawah sadar masyarakat India? Tidak lain pilar utamanya adalah karma!! Kelahiran Anda sekarang tentu akibat dari karma-karma kehidupan Anda yang lalu bukan? Artinya jika Anda terlahir di dalam keluarga kasta rendah seperti budak; itu karena timbunan karma-karma buruk Anda di kelahiran sebelumnya. Atas dasar itulah kasta-kasta rendah sudah selayaknya diperlakukan rendah dan hina sebagai balasan (buah) dari karma-karma buruk yang mereka lakukan pada kehidupan sebelumnya.
Logika inilah yang membuat sistem kasta bertahan sampai dengan hari ini! Para kasta rendah yang meyakini hukum karma ini terpaksa hanya pasrah dan menerima keadaan dan perlakuan buruk terhadap mereka. Bagaimana pandangan Sang Buddha terhadap sistem kasta ini? Sang Buddha mengakui kebenaran tentang adanya hukum karma dan tumimbal lahir akan tetapi Beliau dengan tegas menolak sistem kasta!! (padahal sebelum mencapai ke-Buddha-an, Beliau terlahir di kasta Ksatria yang cukup terhormat). Tapi, Sang Buddha tidak menghiraukan kedudukan kastanya yang tinggi dan tetap menolak sistem kasta. Mengapa? Bukankah logika golongan brahmana di atas cukup masuk akal??
Ini karena setiap makhluk bahkan yang paling rendah sekalipun memiliki Bodhicitta (benih-benih ke-Buddha-an). Ada benih-benih kebajikan yang dapat dilatih dan ditumbuhkan dari dasar batin yang paling mendalam setiap makhluk. Pandangan Sang Buddha telah menembus sekat-sekat duniawi dan melihat potensi Bodhicitta yang indah pada setiap makhluk; Beliau tidak lagi melihat rendah-tinggi, kaya-miskin, cantik-jelek. Semua dilimpahi oleh kelembutan dan kasih sayang, oleh perasaan simpati dan welas asih. Keindahan Bodhicitta inilah yang tidak dapat dilihat oleh mata para brahmana yang tertutupi oleh debu kemelekatan duniawi.
Alasan kedua adalah karena karma bukanlah segalanya. Keadaan kita saat ini tidaklah hanya bergantung pada karma semata. Kondisi dan faktor-faktor kesalingbergantungan juga berkontribusi dalam menentukan keadaan kita saat ini. Bukankah selain Karma Niyama; kita juga mengenal adanya Utu Niyama, Bija Niyama, Citta Niyama dan bahkan Dhamma Niyama!! (silakan Anda cari tahu sendiri arti dari niyama-niyama di atas :) ). Jadi, meskipun penting dan berpengaruh, karma hanyalah salah satu elemen yang mempengaruhi kondisi kita.
Berikutnya, sistem kasta telah menciptakan satu rantai fatalisme. Dengan alasan karma-karma buruk kehidupan sebelumnya, orang-orang yang terlahir di keluarga ber”cap” kasta rendah diperlakukan sangat buruk dan umumnya hidup dalam himpitan kemiskinan, tekanan sosial dan depresi batin yang menyiksa. Akibat tekanan sosial dan batin seperti ini, banyak warga kasta rendah melakukan kriminalitas (seperti pencurian, dsb). Lantas kapan mereka akan bisa keluar dari kasta yang rendah ini? Kondisi hidup yang buruk akan menekan mereka untuk melakukan keburukan dan mereka terlahir lagi dalam keburukan dan seterusnya dst........sampai kapan??
Tambahan pula, kaum brahmana tidak menyadari kebenaran dari Paticcasamuppada (kesalingterkaitan). Bukankah kebutuhan hidup mereka seperti makanan, pakaian, kenyamanan bisa tersedia juga karena adanya kontribusi dari para golongan bawah, para kasta rendahan? Sudah selayaknyalah mereka menghargai dan menghormati para kasta rendahan.
Inilah beberapa alasan mengapa Sang Buddha dengan tegas menolak sistem kasta.
Siraman hangat sang mentari..........
Arakan awan putih baris-berbaris...........
Sepoi angin mengalun lembut........
Terhiasi oleh Bodhicitta segenap makhluk
Marilah kita semua, mulai momen ini juga, mulai saat ini juga, mencoba berlatih dan berlatih, menumbuhkan hati yang bajik.
Mungkin banyak kegagalan ’kan menghadang
Mungkin banyak kesulitan ’kan menerjang
tapi... seraya tersenyum, kita akan mencoba......., dan..... mencoba lagi......
Artikel Bebas
Hendry Filcozwei Jan *
Angka 1.001 (baca: seribu satu) lazim dipakai untuk menyatakan sesuatu yang jumlahnya sangat banyak, meskipun mungkin jumlahnya tidak sebanyak itu. Ada “Cerita 1.001 Malam”, ada juga sinetron tentang jin yang memplesetkannya menjadi “1.001 Macam”, sebuah TV swasta juga menayangkan sinetron dengan judul “1.001 Cara Menggaet Cowok”, dan masih banyak lagi.
Kita semua sepakat 1.001 sebagai bilangan yang dipakai untuk menyatakan jumlah yang sangat banyak (tanpa mempedulikan jumlah sebenarnya). Jadi tidak perlu protes seandainya Anda membeli buku berjudul “1.001 Jurus Jitu Mencari Jodoh” tapi Anda tidak menemukan 1.001 jurus seperti yang tertulis di sampul buku.
Bulan Oktober adalah bulan bahasa. Ini sedikit catatan ringan penulis tentang penggunaan bahasa Indonesia.
Anda pernah ke Semarang? Anda tentu tahu kawasan Simpang Lima. Tak usah jauh-jauh ke sana, di Bandung juga ada. Namun orang Bandung punya sebutan yang berbeda, Prapatan Lima! Ini jelas penggunaan kata yang tidak tepat. Kata prapatan atau perempatan artinya jalan simpang empat (KBBI, 1997, hal. 262). Mungkin kata “prapatan” sudah terlanjur dianggap sama dengan kata “simpang”? Wah… jangan-jangan di Bandung juga ada prapatan tiga.
Hal seperti inilah yang dipelajari dalam kelirumologi (ilmu yang mempelajari hal-hal yang telah dianggap benar oleh masyarakat umum, tapi sebenarnya itu keliru). Tidak mudah untuk mengubah kebiasaan berbahasa yang sudah terlanjur memasyarakat. Kita menggunakan kata atau kalimat yang benar, justru kita yang dianggap keliru.
Penulis pernah membaca sticker di angkot berisi iklan obat. Di sana tertulis: “Bila tidak terbukti, barang kembali.” Anda tertarik dengan jaminan di iklan tersebut? Hati-hati, di sana tidak ditulis uang Anda akan dikembalikan. Kalau Anda tidak puas, barang boleh dikembalikan (uangnya belum tentu).
Banyak iklan yang bahasanya keliru, atau mungkin sengaja dikelirukan agar terdengar menarik?
Anda tentu pernah melihat iklan undian yang diselenggarakan sebuah bank swasta di televisi. Di akhir iklan seorang anak kecil berujar “400 gitu lho…” Kita lihat di iklan tersebut: awalnya undian itu berhadiah 300 mobil, sekarang 400 mobil. Coba Anda perhatikan kalimatnya “… Jangan heran, hadiah mobilnya tambah 400.”
Padahal seharusnya “… Jangan heran, hadiah mobilnya tambah 100” atau “… Jangan heran, hadiah mobilnya jadi 400.”
Masih dari tayangan di televisi. Anda pernah melihat acara Uang Kaget? Di awal acara, Anda akan melihat Helmy Yahya, sang game master yang juga presenter-nya. Ini sepenggal kalimatnya “… Saya akan berjalan ke mana angin berjalan…” padahal seperti kita ketahui, angin biasanya bertiup atau berhembus, bukan berjalan.
Lain lagi pengalaman penulis. Saat seorang rekan penulis ingin merokok, dia bilang pinjam “bengsin.” Penulis sempat bingung, tapi akhirnya tahu, ternyata korek api (bukan korek api batangan), entah itu berbahan bakar bensin atau gas, di Bandung disebut “bengsin.”
Penulis harap Anda juga tidak protes dengan judul tulisan ini. Jangan protes karena kekeliruan bahasa yang dibahas tidak sampai seribu satu, juga penulisan judul di atas seharusnya “1.001” bukan “1001” (seharusnya ada tanda titik setelah angka 1 yang pertama). Bukan penulis yang keliru, bukan pula editor majalah ini yang keliru. Ini memang sengaja dikelirukan, semua demi menghasilkan angka yang unik, dibaca dari sini atau dari sebelah sana tetap seribu satu!
* Penulis adalah peminat bahasa Indonesia dan kelirumolog, tinggal di Bandung
♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥
Seorang Bhiksu Bernama Chen Hua
Sangha adalah salah satu tiang utama Buddhadharma. Itulah sebabnya, di dalam berlindung kepada Trisarana, yang melambangkan kesediaan kita bernaung di dalam Buddhadharma, kita juga menyatakan berlindung kepada Sangha.
Tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa begitu Sangha musnah maka Buddhadharma juga akan terancam lenyap. Umat awam jelas membutuhkan Sangha. Yang pertama, [mungkin paling populer] karena umat memerlukan ‘ladang’ tempat menanam sebab [dana] dengan pengharapan untuk mendapatkan akibat [keberuntungan] yang baik di masa depan. Yang kedua, [yang ini mungkin kurang populer] karena Sangha juga [semestinya] berfungsi sebagai ‘model’ spiritual untuk umat awam yang juga benar-benar memiliki keseriusan di dalam usaha spiritual. Model di sini idealnya bukan cuma penjelasan kata-kata di dalam ceramah tetapi juga sikap teladan nyata yang merupakan realisasi dari hasil praktik. Memilih menjalani kehidupan Sangha adalah suatu pilihan pribadi yang luhur dan berat. Dikatakan juga ini memerlukan jodoh! yang dalam [dengan Buddhadharma] dan tidak semua orang memiliki sebab dan kondisi yang begitu suburnya untuk mengambil pilihan yang luhur ini.
Adalah suatu hal yang sulit dibayangkan jika seorang umat awam perumahtangga yang masih sibuk dengan urusan duniawi dapat memiliki kelebihan [spiritual] untuk berbicara sesuatu soal Sangha, apalagi mengkritik Sangha. Tentu sangat jarang juga ditemukan seorang Sangha yang memiliki kesukaan mengkritik orang lain. Ini dapat disebabkan karena memang seorang Sangha yang komit dalam pelatihan biasanya tidak berkepentingan mencari kesalahan orang lain. Yang paling istimewa adalah seorang Sangha yang komit di dalam pelatihan dirinya sendiri dan sekaligus lantang menunjuk kekurangan-kekurangan atau hal-hal yang dirasakan telah mengencerkan praktik Buddhadharma yang sejati.
Sungguh beruntung, kita masih dapat menemukan ini - di jaman yang katanya jaman akhir Dharma ini – pada seorang Bhiksu yang bernama Chen Hua. Bhiksu Chen Hua adalah seorang Bhiksu dari daratan Cina yang akhirnya hijrah ke Taiwan. Beliau adalah Bhiksu sepuh yang juga mengalami masa-masa sulit Buddhadharma di Cina di masa-masa tahun empat puluhan - enam puluhan. Informasi terakhir yang dimiliki oleh penulis, walaupun sudah berusia delapan puluh tahun lebih, beliau sekarang ini masih bertugas sebagai staf pendidik di Fu Yen Retreat, Taiwan, sebuah tempat pendidikan dan pelatihan untuk Bhiksuni yang didirikan oleh almarhum Master Yin Shun.
Bhiksu Chen Hua inilah yang menulis sebuah buku yang sangat populer di Taiwan, yang juga sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris dengan judul ‘Dalam Pencarian Dharma’ (In Search of The Dharma). Kekuatan dari penuturan Bhiksu Chen Hua adalah bahasanya yang lugas, penuh humor dan yang paling penting, penuh dengan kejujuran, yang sepenuhnya merefleksikan dinamika aktual perkembangan spiritual sejak beliau menjadi Bhiksu di Cina Daratan pada usia empat-belas tahun sampai saat-saat usia senja beliau di Taiwan. Di dalamnya tidak ada kisah-kisah keajaiban dan tidak ada juga kisah-kisah spektakuler. Di dalamnya hanya ada sebuah penuturan 9 Oktober 2005, tahun III, No. 26 4 yang penuh dengan realita nyata hidup seorang anak manusia yang berjuang mencari Dharma sebagai seorang Bhiksu, seorang yang sudah menyerahkan seluruh jiwa dan raganya untuk Buddhadharma.
Perjalanan panjang Bhiksu Chen Hua diawali pada saat ia ditahbiskan menjadi Bhiksu pemula karena pertolongan seorang umat yang ingin menyelamatkannya dari kemiskinan. Sudah menjadi rahasia umum di masa itu di daratan China bahwa menjadi Bhiksu adalah salah satu cara untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik. Walaupun penghidupan di sebuah biara kecil bukanlah sesuatu yang dapat dikatakan ‘nyaman’, paling tidak di biara seseorang akan kecukupan sandang dan pangan, sesuatu yang kadang kewalahan dipenuhi di dalam masyarakat pedesaan yang hidup bahkan di bawah garis kemiskinan. Ini disebutkan beliau sebagai salah satu bagian yang sangat menyedihkan akan kondisi Buddhadharma di Cina daratan pada saat itu.
Tidaklah mengherankan jika Bhiksu-Bhiksu penghuni biara pada saat itu dapat terdiri dari berbagai macam orang dengan berbagai macam latar belakang, dari orang-orang yang benar-benar memiliki motivasi murni dan komit dalam Buddhadharma sampai dengan pebisnis berkedok wajah bijaksana.
Untuk ini, tanpa ragu Bhiksu Chen Hua menyebutkan bahwa biara-biara Buddhis di Cina daratan pada saat itu sebagai tempat bersandingnya ‘ular’ dan ‘naga’. Pada saat menyebut soal ‘ular’ ini, Bhiksu Chen Hua berbicara dengan tanpa tedeng aling-aling, menyingkap semua praktik-praktik yang menurut beliau telah mengikis keseriusan praktik Buddhadharma. Ini terutama dikarenakan kecintaannya yang sangat kepada Buddhadharma dan juga karena karakter beliau yang teguh meletakkan sosok ideal seorang yang telah ‘meninggalkan rumah’ [maksudnya: menjadi anggota Sangha] dan menyerahkan diri untuk Buddhadharma.
Bagi beliau, seorang yang ‘meninggalkan rumah’ berarti sepenuhnya lepas dari motivasi-motivasi duniawi. Sesuai dengan tradisi [Chinese Mahayana], segala kegiatan seorang Bhiksu seharusnya berada dalam kerangka renunsiasi, pelatihan diri dan sekaligus usaha memberi manfaat sebesar-besarnya untuk makhluk lain. Menegaskan lagi warisan tradisi, beliau menyebutkan kerangka ini dapat terwujudkan di dalam empat kegiatan utama seorang Bhiksu: ‘belajar’, ‘meditasi’, ‘bekerja’ dan ‘mengajar’. Kegiatan ‘belajar’ dan ‘meditasi’ ditujukan ke dalam [diri] untuk membangun fondasi untuk ‘bekerja’ dan ‘mengajar’ [keluar] demi manfaat semua makhluk.
Menurut beliau, ‘ular’ adalah mereka-mereka yang telah ‘meninggalkan rumah’ tetapi terlalu sibuk dengan segala urusan di luar empat kegiatan utama yang sudah disebut di atas. Berbicara mengenai kebobrokan dan ‘ular’, ada banyak hal yang telah diceritakan beliau. Yang paling menyedihkan untuk seorang Bhiksu yang serius mencari ‘pengetahuan Dharma’ adalah ketika ia dipaksa [oleh kepala Biara] hanya menjadi mesin penghasil uang di sebuah biara kecil. Dari pagi sampai malam, Bhiksu-Bhiksu dikirim ke berbagai tempat sebagai ‘petugas’ pelaksana ritual kematian.
Tidak ada lagi waktu untuk [hening] bermeditasi atau menekuni Sutra-Sutra dan bila sang Bhiksu muda idealis yang baru bergabung mengajukan protes, ia justru akan ditertawakan oleh Bhiksu-Bhiksu yang lebih senior. Penolakan yang kukuh Bhiksu Chen Hua akan praktik semacam ini menyebabkan beliau mendapatkan olok-olok yang menyakitkan sekaligus kesengsaraan yang berat. Berbeda dengan Bhiksu-Bhiksu sejawat beliau yang ‘sejahtera’ bergelimpangan uang donatur, beliau mengalami kesengsaraan material. Jangankan untuk konsultasi dengan dokter pada saat beliau sakit parah, bahkan untuk naik rickshaw saja beliau tidak mampu. Kebobrokan diwarnai juga dengan diskriminasi dan elitisme.
Dikarenakan Bhiksu Chen Hua berasal dari Utara, beliau mengalami perlakuan tidak adil dari sejawat-sejawat beliau yang berasal dari Selatan. Beberapa kali kesabaran beliau diuji, tetapi didera oleh berbagai kesulitan-kesulitan dan perlakuan tidak senonoh, akhirnya beliau pun meledak juga. Insiden ini dijelaskan dengan detil oleh Bhiksu Chen Hua.
Setiap malam, sebelum tidur Bhiksu Chen Hua selalu menyempatkan diri untuk belajar dan melatih kaligrafi. Ini mengundang ketidakpuasan teman-teman Bhiksu sekamar beliau yang ingin segera tidur sehabis seharian melaksanakan ritual kematian. Kata-kata kasar yang tidak pantas pun dilontarkan oleh mereka kepada Bhiksu Chen Hua, termasuk juga dengan olok-olokan yang merendahkan kedaerahan. Perdebatan sengit pun terjadi. Bhiksu Chen Hua sendiri berhadapan dengan tujuh orang Bhiksu lainnya. Bhiksu Chen Hua menyebut insiden ini sebagai ‘Api kebodohan akhirnya tak tertahankan lagi’. Beliau menampar salah satu dari mereka, yang [mungkin karena terkejut] jatuh ke tempat tidur dan menangis, melolong keras-keras. Sejak itu tidak ada lagi yang berani mengolok-olok beliau. Beliau menyesali perbuatan reaktif ini dan mengakui bahwa beliau bukan seorang Bodhisattva yang bisa ‘mengalami penghinaan seperti minum embun surgawi’
Junarto M. Ifah
[Diadaptasi dari buku ‘In Search of The Dharma: memoirs of a modern chinese buddhist pilgrim by Chen Hua’] Diselesaikan tepat pada malam perayaan hari lahir Bodhisattva Avalokitesvara yang jatuh pada tanggal 24 July 2005 (Bulan 6 Tanggal 19 menurut penanggalan imlek).
Sumber: Dharma Manggala
♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥
Cerita Bersambung
By: Y L Sammanera Badraprajna
Pendekar Tiga Permata
♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥
Serba-Serbi
What Category You are…?
Message:
1) What describes your perfect date?
a) Candlelight dinner for two
b) Amusement park
c) Rollerblading in the park
d) Rock concert
e) See a movie
2) What is your favorite type of music?
a) Rock and Roll
b) Alternative
c) Soft Rock
d) Classical
e) Popular
3) What is your favorite type of movie?
a) Comedy
b) Horror
c) Musical
d) Romance
e) Documentary
4) Which of the following jobs would you choose if you were given only these choices?
a) Waiter/Waitress
b) Sports Player
c) Teacher
d) Policeman
e) Bartender
5) Which would you rather do if you had an hour to waste?
a) Work out
b) Read
c) Watch TV
d) Listen to the radio
e) Sleep
6) Of the following colours, which do you like the best?
a) yellow
b) white
c) sky blue
d) teal
e) red
7) Which one of the following would you like to eat right now?
a) ice cream
b) pizza
c) sushi
d) pasta
e) salad
8) What is your favorite holiday?
a) Halloween
b) Christmas
c) New Year's
d) Valentine's Day
e) Thanksgiving
9) If you could go to any of the following places, which would it be?
a) Paris
b) Spain
c) Las Vegas
d) Hawaii
e) Hollywood
10) Of the following, who would you rather spend time with?
a) Someone who is smart
b) Someone with good looks
c) Someone who is a party animal
d) Someone who has fun all the time
e) Someone who is very emotional
Now total up your points and find your character below:
Q 1) a = 4 b = 2 c = 5 d = 1 e = 3 points
Q 2) a = 2 b = 1 c = 4 d =! 5 e = 3 points
Q 3) a = 2 b = 1 c = 3 d = 4 e = 5 points
Q 4) a = 4 b = 5 c = 3 d = 2 e = 1 point
Q 5) a = 5 b = 4 c = 2 d = 1 e = 3 points
Q 6) a = 1 b = 5 c = 3 d = 2 e = 4 points
Q 7) a = 3 b = 2 c = 1 d = 4 e = 5 points
Q 8) a = 1 b =3 c = 2 d = 4 e = 5 points
Q 9) a = 4 b = 5 c = 1 d = 2 e = 3 points
Q 10) a = 5 b = 2 c = 1 d = 3 e = 4 points
(10-17 points): You are OSCAR.
You are wild and crazy and you know it. You know how to have fun, but you may take it to extremes. You know what you are doing though, and are much in control of your own life. People don't always see things your way, but that doesn't mean that you should do away with your beliefs. Try to remember that y! our wild spirit can lead to hurting yourself and others.
(18-26 points) You are ERNIE.
You are fun, friendly, and popular. You are a real crowd pleaser. You have probably been out on the town your share of times, yet you come home with the values that your mother taught you. Marriage and children are important to you, but only after you have fun. Don't let the people you please influence you to stray.
(27-34 points) You are ELMO.
You are cute, and everyone loves you. You are a best friend that no one takes the chance of losing. You never hurt feelings and seldom have your own feelings hurt. Life is a breeze. You are witty and calm most of the time. Just keep clear of backstabbers, and you are worry free.
(35-42 points) You are ZOE.
You are a lover. Romance, flowers, and wine are all you need to enjoy yourself. You are serious about all commitments. A family person. You call your Mom every Sunday, and never forget a Birthday. Don't let your passion for romance get confused with the real thing.
(43-50 points) You are BERT.
You are smart, a real thinker. Every situation is approached with a plan. You are very healthy in mind and body. You teach strong family values. Keep your feet planted in them, but don't overlook a bad situation when it does happen.