Hendry Filcozwei Jan
Apa penyebabnya? Usia tua. Kebanyakan alat transportasi di negerti tercinta ini, sudah uzur. Kalau diibaratkan manusia, mungkin sudah harus pensiun, duduk santai di rumah, main dengan cucu. Sebenarnya, faktor usia tua tidak berdiri sendiri.
Alat transportasi yang tak layak jalan, terbukti masih boleh beroperasi. Pada kapal laut, jumlah penumpang yang ada di kapal dan yang tercatat, tidak sama. Penumpang di kapal, jauh lebih banyak daripada yang tercatat (batas maksimum yang diperbolehkan). Bagaimana “penumpang gelap” ini bisa masuk kapal? Kalau terjadi kecelakaan? Jumlah pelampung dan perahu penyelamat tentu tidak seimbang dengan jumlah penumpang.
Pesawat terbang? Masih jadi misteri karena kotak hitam (yang warna sebenarnya orange), belum bisa diambil untuk diselidiki. Kereta api, karena usia tua dan kurang terawat (baik kondisi kereta maupun rel-nya).
Secara guyon, orang memberikan urutan darat, laut, dan udara. Laik jalan dan prosedur keselamatan di darat penting, di laut lebih penting, dan di udara paling penting. Di darat (misalkan mobil), rem kurang berfungsi dengan baik, mobil masih bisa dijalankan secara perlahan. Dalam perjalanan, kalau keadaan darurat (jalan licin karena hujan), masih bisa berhenti untuk memperbaiki rem atau tidak melanjutkan perjalanan. Kapal laut, kalau mati mesin atau kapal bocor, masih “butuh waktu” untuk tenggelam, masih bisa kontak untuk minta bantuan. Kalau pun kapal mulai tenggelam, bantuan belum datang, penumpang bisa memakai pelampung dan melompat atau berpegangan pada benda lain yang terapung atau berenang. Pesawat terbang, kalau mesin mati? Hanya dalam waktu beberapa detik (atau menit?) untuk tiba di bumi. Tidak banyak hal yang bisa dilakukan dalam waktu sesingkat ini. Apalagi kita tahu, tidak ada manusia yang bisa terbang.
Keselamatan penumpang, haruslah jadi prioritas utama. Jadi semua pihak yang terlibat dalam urusan transportasi harus disiplin. Lakukan perawatan rutin, cek kendaraan sebelum berangkat, jangan biarkan sedikit “uang pelicin” dari penumpang agar lolos tanpa tiket, yang pada akhirnya berbahaya bagi penumpang secara keseluruhan. Berapa pun uang santunan yang diberikan kepada keluarga korban, tidak akan cukup untuk mengganti duka mereka yang kehilangan anggota keluarganya.
Kita tahu, masih banyak sekali “pekerjaan rumah” di negeri ini yang masih harus diperbaiki. Tapi, haruskah selalu ada korban jiwa dalam jumlah besar dulu, baru kita perbaiki?
KEJUJURAN
Apa yg akan kamu katakan pada orang terdekat kalian, bila ia melakukan kesalahan yang tidak disadarinya sama sekali?
# BERKATA JUJUR #
Karena jika akhirnya ia melakukan kesalahan, sebagian beban dari kesalahannya itu mungkin merupakan tanggung jawab kamu juga.
Apa yang kamu lakukan kalau kamu tahu bahwa apa yang akan kamu katakan itu mungkin akan menyinggung atau menyakiti perasaannya, tetapi itu demi kebaikannya?
# BERKATA JUJUR #
Berkata jujur tetap lebih baik daripada mendiamkan masalah hingga berlarut-larut, karena masalah itu akan melukainya lebih dalam lagi. Percayalah, teman yang baik adalah teman yang peduli pada kebaikan temannya sendiri.
Apa yg akan kamu lakukan bila kamu hidup di lingkungan yang kebanyakan orang-orangnya suka berbohong?
# BERSIKAP JUJUR #
Bila kamu mengikuti kebiasaan berbohong orang-orang di sekitarmu, ini akan membuat kamu punya kebiasaan baru yang buruk, yaitu berbohong. Ingatlah sulit sekali untuk mengubah kebiasaan seseorang.
Apa yang akan kamu lakukan bila teman-teman mengajakmu untuk membohongi teman yg lain, sekedar hanya untuk bercanda saja?
# BERSIKAP JUJUR #
Kamu tidak pernah tahu apa akibat kebohongan itu bagi orang yg kamu bohongi itu sendiri. Bukan hanya karena kamu mengenal orangnya seperti apa, jadi kamu pikir bahwa hal itu tak akan menjadi masalah besar baginya? Kamu takkan pernah bisa tahu apa yg akan terjadi di depan. Bercanda pun ada batasnya.
Apa yang kamu lakukan bila temanmu meminta kamu untuk berbohong demi menutupi kesalahan yg ia perbuat sehingga ia terbebas dari konsekuensi akibat kesalahannya itu?
# BERKATA JUJUR #
Dengan menutup-nutupi kebohongannya itu bukan berarti kamu telah menolongnya dan menunjukkan sikap solidaritas antar teman. Dengan bersikap demikian, sebenarnya kamu makin menjerumuskan temanmu dalam masalah, karena ia tak pernah dihukum atas kesalahannya. Ia tidak akan menjadi orang yang lebih baik karena tidak pernah belajar dari
Apa yg akan kamu lakukan bila temanmu meminta contekan darimu saat ujian atau kamu sendiri merasa bahwa kamu butuh contekan saat ujian?
# BERSIKAP JUJUR #
Mencontek sama saja seperti plagiat. Kamu tidak jujur karena apa yang kamu kerjakan itu bukan murni usaha sendiri. Masa bangga dapat nilai tinggi tapi bukan hasil otak sendiri?
Apa yg akan kamu lakukan bila atasanmu memintamu untuk melakukan manipulasi data keuangan atau memanipulasi orang lain?
# BERSIKAP JUJUR #
Karena kemungkinan besar tindakan manipulasi ini akan merugikan dan menyusahkan banyak orang. Tanya pada diri sendiri, apakah rela mengorbankan orang lain demi keuntungan sendiri?
Coba renungkan ini :
Bagaimana perasaanmu saat mengetahui bahwa orang yg paling kamu cintai membohongimu?
Bagaimana perasaanmu saat mengetahui bahwa kamu dibohongi oleh pacar sendiri dan teman dekatmu tahu hal ini tapi ia tak berkata jujur padamu?
Bagaimana perasaanmu saat diberitahu oleh temanmu bahwa adikmu mengalami kecelakaan tapi ternyata hal itu tdk benar karena mereka hanya ingin mencandaimu saja?
Bagaimana perasaanmu bila bisnis orangtuamu hancur sehingga keluarga kalian bangkrut karena ditipu orang?
Kita hidup di dunia yang rumit. Maunya berdiri di daerah "putih" atau "hitam" atau daerah "kelabu"? Jujur itu ternyata susah. Makanya ada pepatah, "Kebenaran itu terkadang menyakitkan" Tetapi mendiamkan hal yang salah sebenarnya lebih banyak ruginya daripada untungnya. Ingat hukum karma kan?
Jadi tetaplah JUJUR. Percayalah bahwa hal-hal yang baik akan datang pada orang yang benar, baik dan jujur. Coba pegang motto seperti ini : I Speak Nothing But The Truth
So guys.....bagaimana keputusanmu?
Syelly
Mengapa Berteriak ?
Suatu hari seorang guru bertanya kepada murid-muridnya;
"Mengapa ketika seseorang sedang dalam keadaan marah, ia akan berbicara dengan suara kuat atau berteriak?"
"Karena saat seperti itu ia telah kehilangan kesabaran, karena itu ia lalu berteriak."
"Tapi..." sang guru balik bertanya, "lawan bicaranya justru berada disampingnya.
Mengapa harus berteriak? Apakah ia tak dapat berbicara secara halus?"
Hampir semua murid memberikan sejumlah alasan yang dikira benar menurut pertimbangan mereka. Namun tak satupun jawaban yang memuaskan.
Sang guru lalu berkata: "Ketika dua orang sedang berada dalam situasi kemarahan, jarak antara ke dua hati mereka menjadi amat jauh walau secara fisik mereka begitu dekat. Karena itu, untuk mencapai jarak yang demikian, mereka harus berteriak.
Namun anehnya, semakin keras mereka berteriak, semakin pula mereka menjadi marah dan dengan sendirinya jarak hati yang ada di antara keduanya pun menjadi lebih jauh lagi. Karena itu mereka terpaksa berteriak lebih keras lagi."
Sang guru masih melanjutkan; "Sebaliknya, apa yang terjadi ketika dua orang saling jatuh cinta? Mereka tak hanya tidak berteriak, namun ketika mereka berbicara suara yang keluar dari mulut mereka begitu halus dan kecil. Sehalus apapun, keduanya bisa mendengarkannya dengan begitu jelas.
Mengapa demikian?"
Sang guru bertanya sambil memperhatikan para muridnya. Mereka nampak berpikir amat dalam namun tak satupun berani memberikan jawaban.
"Karena hati mereka begitu dekat, hati mereka tak berjarak. Pada akhirnya sepatah katapun tak perlu diucapkan. Sebuah pandangan mata saja amatlah cukup membuat mereka memahami apa yang ingin mereka sampaikan."
Sang guru masih melanjutkan;
Kebenaran dalam Ucapan
Oleh: Willy Yandi Wijaya
Salah satu poin penting untuk mencapai kedamaian sejati[1] adalah melatih diri dalam ucapan yang sesuai dengan samma-vacca (Pali) atau samyak-vaca (Sansekerta) dalam Jalan-Mulia-Berunsur-Delapan[2]. Di dalam Pancasila-buddhis sendiri terdapat aturan bagi umat biasa, yakni sila ke-4 yang berbunyi “Menahan diri dari berbicara yang tidak benar.”
Dalam tulisan ini, penulis akan meninjau tentang ‘kejujuran-kebohongan’ dari dua perspektif. Perspektif pertama dilihat dari kesesuaiannya dengan Pancasila-buddhis. Menurut sila ke-4 Pancasila-buddhis kebohongan terbagi menjadi tiga tingkat[3]:
Syarat terjadinya adalah pernyataan yang salah dan suatu usaha dengan sadar dilakukan untuk membuat kesalahan. Kebohongan dapat dilakukan secara fisik atau ucapan—gerakan isyarat/sikap dan tulisan termasuk. Wujudnya antara lain : berbohong terang-terangan (menghasut, menipu, menjilat, pengingkaran pernyataan sendiri), pelanggaran sumpah, tipu-muslihat, munafik, permainan kata-kata[4], melebih-lebihkan atau omong besar, menyembunyikan[5]).
Kebohongan ini biasanya tidak direncanakan dan terbagi menjadi : Kata-kata melukai (termasuk melebih-lebihkan dalam memuji, menghina); kebohongan yang tidak terpikir (tidak sengaja dilakukan dan sudah terlanjur diucapkan); sindiran dengan tujuan menghasut, menimbulkan perselisihan dan memang berdasarkan kenbenaran namun tetap salah karena didorong niat buruk.
Melanggar janji juga dikategorikan berbohong baik itu perjanjian dua pihak, satu pihak, maupun pembatalan kata-kata (berjanji memberikan sesuatu kepada orang lain kemudian kata-kata itu diingkarnya)
Hal-hal berikut yang kelihatannya seperti berbohong namun sebenarnya tidak dapat dianggap sebagai kebohongan karena tidak adanya niat untuk menipu, antara lain : euphemisme[6], cerita kiasan (fabel), salah pengertian (terkadang salah jawab terhadap suatu pertanyaan—bukan ada niat).
Perspektif yang ke dua akan ditinjau dari salah satu unsur dalam Jalan-Mulia-Berunsur-Delapan, yakni Perkataan-Sempurna[7]. Buddha sendiri membagi Perkataan-Sempurna menjadi empat bagian[8]:
Pernyataan Sang Buddha dalam Anguttara Nikaya 10:176, menunjukkan dua sisi dari perkataan sempurna, yaitu dari sisi negatif berarti menjauhkan diri dari berbohong dan sisi positifnya adalah mengatakan kebenaran. Faktor yang menentukan dari suatu perkataan dapat dianggap bohong adalah kehendak untuk berbohong.
Fitnah ditujukan untuk menciptakan permusuhan dan perpecahan. Biasanya didasari kebencian, iri hati atau sakit hati. Fitnah adalah salah satu pelanggaran moral yang berat karena dilandasi kebencian dan biasanya ketika melaksanakannya akan melakukan kebohongan sehingga karma/kamma negatifnya akan berlipat ganda.
Kata-kata kasar biasanya dilontarkan seseorang dalam keadaan marah atau emosi. Akar utamanya adalah kebencian yang diwujudkan dengan kemarahan. Jika dibandingkan dengan fitnah, akibat karma/kamma dari kata-kata kasar pada umumnya lebih ringan karena tanpa direncanakan. Cara mengatasinya adalah dengan melatih kesabaran.
Obrolan kosong yang dimaksud adalah pembicaraan yang tidak bermakna. Buddha sendiri mengajarkan untuk menghindari hal tersebut karena bisa saja efek selanjutnya akan menjadi suatu hal yang negatif. Iklan-iklan di media massa atau informasi-informasi/gosip di televisi akan membuat pikiran menjadi tumpul dalam spiritual dan ketika rantai informasi atau gosip itu semakin beredar, biasanya akan mengalami pengurangan atau penambahan sehingga akan menjadi suatu fitnah.
Kejujuran sangat penting dalam proses melatih diri menjadi seorang Buddha. Dikatakan bahwa sebelum terlahir terakhir kalinya sebagai pangeran Sidhartha/Siddhattha, bodhisatta[9] bisa melanggar semua sila moral, kecuali ikrar untuk mengatakan kebenaran!
Untuk melaksanakan perkataan sempurna ada 4 hal yang perlu diperhatikan[10], yaitu:
Yang dimaksud tingkat ketulusan adalah sejauh mana perkataan seseorang sesuai dengan kebenaran. Jangan pernah melebih-lebihkan atau mengurangi kebenaran yang akan diucapkan. Biasanya kita akan sedikit atau bahkan banyak dalam membengkokkan fakta ke arah yang kita inginkan. Kita harus sadar dengan apa yang kita ucapkan.
Perkataan yang ideal tidak hanya tulus namun juga harus menghargai dan mencintai. Dengan mengetahui kebenaran (fakta) dan mengatakannya kepada orang lain, jangan pernah dengan pikiran yang hanya menguntungkan diri sendiri.
Selanjutnya perkataan yang sempurna juga tidak melupakan manfaatnya terhadap orang lain. Dimulai dari diri sendiri yang berpikir positif terhadap diri kemudian terhadap orang lain, sehingga perwujudannya dalam perkataan akan menjadi positif pula. Tingkat ini lebih melihat ke luar (lingkungan) setelah sebelumnya secara tulus dan cinta kasih dalam suatu komunikasi. Bahkan ketika sampai pada tingkat ini komunikasi kita akan semakin dalam terhadap orang lain dan kita akan ‘melupakan diri kita sendiri’.
Tingkatan yang paling tinggi ini akan membawa kita pada perkataan yang harmoni, seimbang, selaras, dan utuh. Komunikasi ini lebih abstrak dan tidak hanya sekedar komunikasi verbal. Ketika memahami tingkatan ini ucapan langsung akan menjadi kurang berarti karena keagungan bukan diwujudkan dengan ucapan.
Sang Buddha bersabda:
“Kata-kata yang mempunyai empat nilai adalah yang diucapkan baik, bukan pembicaraan jahat, tidak salah, dan tidak dicela para bijaksana. Apakah empat itu? Mengenai ini, seseorang berbicara dengan kata-kata yang indah, bukannya buruk; seseorang berbicara dengan kata-kata yang benar, bukannya salah; seseorang berbicara dengan kata-kata yang halus, bukannya kasar; seseorang yang berbicara dengan kata-kata penuh kebenaran, bukan kepalsuan.”[11]
Daftar Pustaka
· Bodhi, bhikkhu. 2006. Jalan Kebahagiaan Sejati. Jakarta: Yayasan Penerbit Karaniya.
· Dhammika, Ven. S. 2004. Dasar Pandangan Agama Buddha. Surabaya: Yayasan Dhammadipa Arama.
· Sangharakshita, Ven. 2004. Jalan Mulia Berunsur Delapan. Jakarta: Yayasan Penerbit Karaniya.
· Vajirananavarorasa, H.R.H. the late Supreme Patriarch Prince. Pancasila dan Pancadhamma dalam Agama Buddha. Jakarta: Sangha Theravada Indonesia.
[1] Kedamaian sejati yang dimaksud di sini mengacu pada nibbana (Pali) atau nirwana (Sansekerta)
[2] Arya astangika-marga (Sansekerta) atau Ariya Atthangika-magga (Pali)
[3] Lihat Vajirananavarorasa, hal. 21
[4] Permainan kata-kata: berbohong dengan mempermainkan kata-kata yang diucapkan.
[5] Mengurangi keadaan sebenarnya, kebalikan dari omong besar.
[6] Euphemisme yaitu suatu cara dalam pembicaraan atau tulisan yang tidak langsung menurut kebiasaan dan kadang-kadang hanya demi kesopanan. Seperti salam “terima kasih”, atau dalam
[7] Penulis menggunakan terjemahan dari Ven. Sangharakshita.
[8] Lihat Bodhi, hal. 67-77
[9] Pengertian bodhisatta di sini secara tradisi Theravada, yaitu kehidupan lampau sang Buddha sebelum terlahir terakhir kalinya sebagai pangeran Sidhartha/Siddhattha.
[10] Lihat Sangharakshita hal. 102-120
[11] Sutta Nipata 449-450, lihat Dhammika hal. 92
[1] Kedamaian sejati yang dimaksud di sini mengacu pada nibbana (Pali) atau nirwana (Sansekerta)
[1] Arya astangika-marga (Sansekerta) atau Ariya Atthangika-magga (Pali)
[1] Lihat Vajirananavarorasa, hal. 21
[1] Permainan kata-kata: berbohong dengan mempermainkan kata-kata yang diucapkan.
[1] Mengurangi keadaan sebenarnya, kebalikan dari omong besar.
[1] Euphemisme yaitu suatu cara dalam pembicaraan atau tulisan yang tidak langsung menurut kebiasaan dan kadang-kadang hanya demi kesopanan. Seperti salam “terima kasih”, atau dalam
[1] Penulis menggunakan terjemahan dari Ven. Sangharakshita.
[1] Lihat Bodhi, hal. 67-77
[1] Pengertian bodhisatta di sini secara tradisi Theravada, yaitu kehidupan lampau sang Buddha sebelum terlahir terakhir kalinya sebagai pangeran Sidhartha/Siddhattha.
[1] Lihat Sangharakshita hal. 102-120
[1] Sutta Nipata 449-450, lihat Dhammika hal. 92
Labels: BVD Juli