Renungan
Loves Our Nature
Aku terlahir di negeri awan, bersamaan dengan jutaan saudara kembarku. Itu sebabnya tangisan kami memekak telinga, diiringi seberkas kilat di langit. Aku begitu bersemangat turun ke Bumi. Terkenang dongeng nenekku yang pernah bertualang di Bumi. Katanya, dahulu makhluk hidup di bumi bahagia mendengar kelahiran kami. Itu pertanda kesuburan dan kemakmuran bagi hidup mereka. Katanya, ada katak yang menyanyi keras, ikan yang berloncatan, pepohonan bergoyang dan berdisko, semuanya menyambut para leluhurku dengan ramah.
Kakekku juga bercerita, betapa puas rasanya ketika dia turun ke Bumi. Katanya dia sempat menonton burung berkonser merdu, menonton kisah kasih angsa, dan akhirnya menyusuri pori-pori bumi, mengubah tanah bumi yang tandus menjadi gembur. Katanya, dia terkagum bisa berenang di sungai yang bening bersama para bebek. Ada juga manusia yang menampung saudara kakek di sumur. Setiap hari manusia menimba leluhurku untuk diminum juga untuk membersihkan tubuh dan pakaian mereka. Ternyata manusia sangat menghargai kami. Mereka juga menghargai ibu kami dengan mengabadikan pose pelangi (Itu senyum ibu kami ketika anaknya terlahir di bumi).
Detik pertama aku jatuh ke bumi, aku bertanya-tanya.. Apa tanah kecoklatan itu telah berubah menjadi aspal? Aku pun mengalir ke suatu tempat yang manusia sebut selokan. Uuhh.. Bau. Aku kecewa tidak bertemu dengan ikan, tetapi dengan sampah membusuk yang bercampur lumut. Susah payah aku berenang ke kali, kabur dari saus lumpur ini. Dalam perjalanan, aku heran.. Tidak bertemu dengan pohon yang gagah, dengan burung dan katak yang rajin konser? Tidak mungkin kakek dan nenek bohong.
Karena penasaran, aku memberanikan diri bertanya pada seekor makhluk yang mengaku bernama jentik-jentik. Katanya..
“Hidup sekarang tidak mudah, anak muda. Uhuk huk..”
“Para burung sedang pilek. Para katak sesak napas karena tersiram limbah. Kalau sakit, bagaimana bisa konser? Tiada lagi hari yang cerah bersama pohon. Kata manusia, mereka ingin mendandaninya menjadi perabot. Apa kata mereka kalau rumah mereka didandani menjadi perabot?”
“Aku hanya bisa berharap cepat dewasa, dan tidak mati konyol tersemprot racun. Itu lebih menyakitkan dibanding berakhir di perut katak pemangsa (maaf) nyamuk”
Ternyata.. dunia tidak lagi seimbang, tidak lagi ramah. Perjalanan ini menjadi saksi bisu. Ibu kami juga ketularan membisu. Dia tidak lagi menyisakan pelangi dan tersenyum kepada bumi. Kami tidak memiliki bahasa yang bisa dimengerti manusia. Kami hanyalah air yang tidak bisa berbuat kalau kami menguap dan menyebabkan kemarau. Tidak juga bisa berbuat ketika es mencair dan menyebabkan banjir.
Manusia berusaha mengubah dunia menjadi lebih sempurna. Mereka tidak sadar.. Ketika lilin dinyalakan, bayangan juga akan terbentuk. Tidak ada yang sempurna bila sisanya mencelakai dunia. Kalau aku bisa make a wish ketika ulang tahun.. Aku ingin manusia mengerti bahasa kami, agar mereka mengerti dan peduli apa yang aku dan saudaraku alami.
Xurya
Introspeksi
Oleh : Hendry Filcozwei Jan
Menjelang tidur, Dhika sering meminta penulis “mendongeng.” Tidak semua yang penulis ceritakan adalah dongeng atau legenda yang sudah populer. Dan… kalau sudah kehabisan stok cerita, apa saja bisa jadi cerita. Kadang tingkah lakunya yang kurang baik dijadikan tema. Tentu saja dengan tokoh binatang agar Dhika tidak merasa sedang disindir. Atau pengetahuan sederhana lain yang mendidik.
Kali ini penulis bercerita tentang simbiosis (kerja sama saling menguntungkan) yang terjadi antara lebah & bunga. Intinya adalah lebah mendapatkan makanan, bunga terbantu proses penyerbukannya. Bahkan madu yang dihasilkan lebah sangat berguna bagi manusia.
Pada skala lebih besar, kita (manusia) sepatutnya meneladani interaksi lebah dan bunga, dalam kehidupan sehari-hari. Kita boleh mengambil hasil alam tanpa harus merusaknya. Bukan seperti kasus pembalakan liar yang membawa banyak bencana. Ada yang ditebang, harus ada yang ditanam untuk menggantikannya, meskipun sebenarnya sekian tahun ke depan baru tergantikan. Bukan hanya di hutan saja, di dalam kota juga seharusnya dilakukan hal sama. Pohon yang ditanam di tepi jalan untuk peneduh dan paru-paru kota, harus ada regenerasi. Ada yang ditebang karena sudah tua, harus ada penanaman kembali.
Seorang rekan di Denpasar, Bali tersentuh dengan sepak terjang Green Peace dalam melindungi bumi dan isinya. Namun karena berbagai keterbatasan, dia tak mungkin bisa bergabung bersama pasukan penyelamat lingkungan, Green Peace. Tapi banyak hal kecil yang bisa dilakukan sebagai wujud cinta pada lingkungan. Misalkan saja tidak membuang sampah sembarangan, terutama sampah plastik yang sukar diurai oleh tanah. Setiap membeli benda kecil, ia tidak akan meminta kantong kresek untuk membawanya. Ia tak mau menambah jumlah sampah plastik. Kantong plastik pembungkus bekas pakai yang masih bagus, akan dilipat untuk kelak digunakan kembali. Ia akan meminimalisir penggunaan kantong plastik. Untuk kertas pun dia melakukan penghematan. Kertas bekas kalender harian tidak langsung dibuang. Kertas ini dipakai untuk mencatat (dia seorang penulis) . Anda tentu tahu, kertas dibuat dari pohon. Hemat kertas, juga mengurangi penebangan pohon. Hemat bagi kantong, baik bagi lingkungan. Ini sebuah usaha kecil yang sepantasnya kita tiru demi kelestarian lingkungan kita, seperti halnya kita meneladani lebah dan bunga.
Vegetable soup for our mind
Kadang aku merasa iri, melihat teman-teman kost dikunjungi oleh orang tuanya. Aku iri, koq cuma aku yang hampir tidak pernah dikunjungi keluargaku, terutama mama. Ah, senangnya melihat teman-teman kostku rutin dikunjungi orang tuanya, walau harus menempuh jarak 3-4 jam, mereka tetap saja datang menjenguk.
Pernah dulu aku bertanya pada mama mengapa aku tidak pernah dijenguk? Aku bercerita tentang teman- teman kostku yang selalu dijenguk, untuk menandakan betapa aku iri pada mereka. Mama hanya menjawab, sibuk mengurus toko. Aku kecewa mendengarnya, masa toko lebih penting dari anaknya sendiri?
Aku juga iri melihat teman-temanku selalu ditelepon oleh mamanya, selalu ditanyakan kesehatannya bagaimana, kuliahnya lancar tidak, tidak seperti mamaku. Mama hanya meneleponku jika berurusan dengan uang. Masih ada uang? Mau dikirim kapan? Selalu pertanyaan itu, itu pun selalu tidak lebih dari tiga menit saja. Seperti anak pungut saja, tidak diperhatikan. Berbeda dengan kakak dan adikku, mereka begitu diperhatikan, ahh... rasa iri ini begitu memuncak.
Aku termasuk anak rumahan, jarang keluar rumah. Paling kalau keluar rumah cuma pergi main basket. Teman-teman dan basket, itu yang membuat aku bahagia.
Waktu aku menginjak kelas tiga SMA, aku bersama tujuh teman lain mengalami kecelakaan. Begini ceritanya, pulang sekolah jam 1 siang, lalu jam 3 sore kami ada pelajaran tambahan. Kami berdelapan pergi makan sekaligus main di daerah Selabintana. Cuaca waktu itu mendung sekali, apalagi teman yang menyupir terkenal suka ngebut-ngebutan.
Kejadian bermula ketika pada jam 2.30 sore kami akan kembali ke sekolah. Saat itu hujan deras, lalu karena berpacu dengan waktu, teman yang menyupir tersebut mengebut. Di tengah perjalanan ada mobil kijang yang sepertinya sengaja menghalang-halangi jalan mobil kami. Karena kesal, teman kami menancap gas hingga 100 km/jam, mungkin lebih. Lalu saat hendak belok ke kanan, laju mobil kami tidak seimbang, mobil menabrak trotoar, lalu menabrak pohon yang akhirnya terbalik-balik di jalan.
Sewaktu aku sadar, aku sudah bermandikan perban darah dan jahitan di sana-sini. Terdengar banyak suara raungan dan suara orang menangis. Aku melihat mamaku hanya menangis dan terus meneriakan namaku agar cepat menjawab panggilannya. Tapi mulut ini hanya diam , tidak bertenaga.
Malam harinya aku lewati di rumah sakit. Semalaman aku tidak tidur dan hanya menahan sakit. Rupanya tangan dan pundak kananku patah dan banyak jahitan di sekujur badanku. Malam itu aku hanya mengeluh pada mamaku, sakit ma...!! Tapi dari awal siuman sampai detik itu aku tidak menangis. Aku jarang menangis dulu, tapi setelah aku tahu 3 orang temanku meninggal aku tidak bisa lagi menahan nangis. Mama menghiburku, tapi tetap saja aku menangis, malam itu aku menangis bersama mama, hanya kami berdua saja yang menangis, aku dan mamaku.
Selama 8 hari aku sama sekali tidak bisa bangun, menggeser badan saja sudah sakit sekali. Melihat mama yang selalu menjagaku, sabar menyuapiku, mengelapi badanku, yang sampai lupa mengurus tubuhnya sendiri, diam-diam aku bersyukur memiliki mama seperti ini.
Saat menuju ruang operasi, mama pingsan, takut aku kenapa-napa katanya. Ah..., betapa mama mengkhawatirkanku. Saat mama melihat tanganku mulai bisa dinaikan sedikit demi sedikit, setelah beberapa minggu tidak bisa digerakan sama sekali, aku melihat mama senang sekali. Makin giat saja aku melatih tangan ini agar mama tidak khawatir lagi.
Sekarang aku sudah kuliah, sudah mulai berpikir bagaimana cara membalas budi kedua orang tuaku. Aku memang iri karena hampir tidak pernah dikunjungi seperti teman kosku yang lain, tapi lama-lama aku mulai mengerti dan memaklumi. Mama mengurus toko juga untuk keperluan kuliahku, belum lagi aku sudah banyak menghabiskan uang pasca kecelakaan itu. Aku pikir mama pun sudah berjuang keras untukku. Tidak apalah kalau aku tidak dijenguk pun, aku bisa menekan rasa iri ini.
Terima kasih mama, betapa cintamu sangat besar padaku. Terima kasih untuk air matamu yang telah mengkhawatirkanku. Terima kasih untuk semua doa-doamu, walau aku sering membuatmu kesal, mama tetap saja mendoakanku. Terima kasih untuk cintamu...
Maafkan aku yang selalu membuatmu khawatir. Maafkan aku yang selalu menuntut ini itu padamu. Maafkan aku yang belum bisa membalas budi baikmu. Mama, aku hanya ingin kau tahu, aku mencintaimu...
Aku sangat bersyukur mama sepertimu. Mama, terima kasih untuk semua cinta yang telah kau berikan padaku...
Mari berbagi Kisah hidup anda yang berkesan…
Bagaikan semangkuk sup hangat yang mampu memberikan kesegaran badan, demikian juga kisah anda bisa memberi kesegaran bagi pikiran orang lain.Kumpulan artikel di rubrik Vegetable Soup For Our Mind ini direncanakan akan diterbitkan dalam bentuk buku.
Kirimkan tulisan anda ke
Redaksi BVD
Jl. Ir. H. Juanda no. 5 Bandung 40116
Email:redaksibvd@yahoo.com
Labels: BVD Agustus