Year end sale, yes? You would say no if the product is human!
Akhir tahun ini, alam tanpa kompromi mencuci dan mengobral manusia kepada penjaga akhirat. Fenomena ini terus berulang setiap tahun, seperti tak ada celah untuk memutus mata rantainya. Aneh, apakah alam menganggap ini sebagai tradisi dan hiburan?
Di mata setan [kalau bener ada setan], semua banjir ROB, banjir kiriman, banjir badang plus bonus tanah longsor sepertinya membawa hikmah tersendiri. Bencana ternyata tidak kalah giatnya membantu usaha pemerintah dan pihak lain untuk memberantas kemiskinan. Hasilnya, dengan berkurangnya populasi manusia, angka kemiskinan di negara kita juga menurun drastis [Berkurang 16,5% menurut BPS dan menurut bank dunia berkurang 49,5%]. Ironis.
Kupikir, alam mencuci gudang tentu karena sebagian produknya “kotor”. Akibatnya, karena nila setitik rusak susu sebelanga. Hal yang normal. Kalau makanan kita ternoda muntahan, kemungkinan besar pangan sepiring itu akan kita kesampingkan juga tanpa memandang masih ada bagian yang bersih.
Pertanyaannya, apakah tidak ada harga diskon dengan cicilan ringan untuk mendapatkan kabar gembira ini? Tentu ada, salah satunya dengan konsistensi mencicil keramahtamahan kita terhadap alam dan sesama manusia. Hukum sebab akibat bekerja di sini. Kalau kita ramah terhadap lingkungan, alam pun akan bertindak sebaliknya.
Kita sudah cukup menonton tragedi di bumi, sudah merasakan efek dari kisah ini. Jangan biarkan keegoan dari suara perut meredam suara hati kita. Jangan biarkan keserakahan dan ketidakpedulian membutakan mata hati kita. Mari segera bertindak!
Apa yang bisa kita lakukan untuk mencegah pemerasan air mata ini terulang lagi? Simpulkan dari beberapa fakta berikut.
1. Satu buah pohon mampu menghisap karbon sebanyak 1000 kg karbon setahun. Imbangi pemakaian kendaraan, alat elektronik, dll dengan penanaman pohon sejumlah emisi yang kita keluarkan.
2. Gunakan bola lampu fluorescent yang lebih hemat 40% daripada bola lampu pijar. Tidak mencolok peralatan elektronik, meskipun alat itu dimatikan juga menghemat 40-50% biaya listrik yang harus kita bayar setiap bulannya. Dan ini juga berarti kita menghemat 500 kg emisi karbon yang bersumbangsih terhadap pemanasan global.
3. Kantung plastik membutuhkan waktu 1000 tahun untuk terurai di TPA. Sekitar 300 juta buah kantung plastik dibuang setiap tahunnya di Indonesia. Belum lagi yang dibuang di sungai dan di tempat yang tidak seharusnya menampung sampah. Jadi, pertimbangkan membawa kantung sendiri untuk menampung barang belanjaan.
4. 10 kg kertas koran yang siap dijual di pasar loak membutuhkan 1 buah pohon, yang membutuhkan waktu 10 tahun untuk menjadi besar. Berapa banyak pohon yang sudah ditebang untuk Anda? Pertimbangkan penggunaan teknologi paperless media untuk menyampaikan informasi. Contohnya dengan bertransaksi menggunakan internet banking atau sms banking. 8 miliar transaksi di ATM menghasilkan kertas struk yang menjadi sumber sampah terbesar di dunia. Bila setiap orang tidak bertransaksi menggunakan kertas struk, berarti menghemat satu roll kertas besar yang bisa melingkari garis equator sampai 15 kali.
5. Hematlah penggunaan air. Jumlah air di bumi memang selalu konstan, namun perbandingan air bersih dengan air kotor semakin tidak sebanding.
Apakah Anda menyadari, untuk air urin sebanyak 40cc kita membutuhkan air bersih lebih dari 1 liter untuk membersihkan toilet? Hargailah air yang kita pakai, karena air setetespun sangat diharapkan di tanah yang kekeringan. Jadi untuk mandi, pertimbangkan menggunakan shower. Untuk menggosok gigi, selalu sediakan segelas air untuk berkumur.
6. Tissue yang sudah dipakai tidak bisa didaur ulang. Begitu juga kardus kotor yang ternoda minyak, lemak kue, makanan dan minuman.
Tingkat konsumsi tissue di Indonesia yaitu sebesar 44 miliar lembar setahun. Ini berarti setiap manusia di negara kita memakai 6 lembar tissue per hari. Menghemat pemakaian selembar tissue sama dengan mengurangi sampah kertas sebanyak 7 miliar lembar setahun! Jadi pertimbangkanlah penghematan tissue atau gunakanlah sapu tangan.
7. Pisahkan tempat sampah organik dan non organik berarti membantu mengurangi polusi air, udara dan tanah. Lebih baik lagi bila kita memisahkan sampah menjadi 4 kelas : Plastik, kertas, logam, dan sampah rumah tangga [sisa makanan dll yang hanya membutuhkan 2 bulan untuk menjadi pupuk kompos]
8. Gunakan produk lokal. Karena produk impor menghabiskan bahan bakar lebih untuk sampai di market di sekitar tempat tinggal kita.
Tiada bumi cadangan untuk menampung generasi berikutnya. Bumi seperti apa yang ingin Anda wariskan untuk orang yang sayangi?
Oleh: Surya Zhou
Labels: BVD Februari
Akhirnya tak terasa, tiba bagi kita untuk mengikuti acara Sarasehan kembali, acara dimana pemuda Buddhis berkumpul. Sukabumi menjadi tuan rumah acara Sarasehan dan Temu Karya IV kali ini yang bertema “Tingkatkan Sportivitas, Kreativitas dan Persahabatan dalam Buddha Dhamma”.Berbagai perlombaan sudah siap menantang.
Hari keberangkatan tiba. Kami sempat berlatih untuk beberapa perlombaan. Sebelum berangkat sembari menunggu beberapa teman lain. Kami juga sempat mengadakan puja bakti untuk kesembuhan teman kami yang pada waktu itu sedang sakit. Setelah semua peserta lengkap, kami langsung masuk ke mobil dan berangkat. Sukabumi, kami datang...
Acara pada malam pertama di Sukabumi diisi oleh perkenalan panitia dan peserta penampilan yel-yel dari tiap vihara, dan pembacaan tata tertib.
Hari kedua sarasehan diisi oleh kebaktian pagi, dilanjutkan sarapan. Setelah itu, para peserta berkumpul kembali di depan panggung untuk mengikuti acara pembukaan yang ditandai oleh pemukulan patta oleh Bhante Saddhanyanno. Pada hari tersebut juga diadakan dhammadesana oleh Beliau.
Setelah makan siang, acara dilanjutkan dengan lomba dhammapada dan dhammaduta. Berbagai tema pilihan lomba dhammaduta adalah : Hukum Karma, Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan, Menjadi Dhammaduta, Keistimewaan Ajaran Buddha, generasi Muda Buddhis, Cinta Kasih bagi Kehidupan, dll.
Diselingi snack, dilanjutkan dengan lomba vihara gita. Dua puluh dua peserta telah siap membawakan lagu wajib Kasih Buddha dan 1 lagu pilihan. Terlihat bakat-bakat yang dimiliki oleh masing-masing peserta. Setelah lomba vihara gita selesai, para peserta sarasehan diperbolehkan untuk bersih diri dan menikmati makan malam.
Setelah makan malam, kami mengikuti sharing tentang sportivitas yang diisi oleh Ko Awi dan team-nya. Dalam sesi ini para peserta diajak untuk merenung mengenai “apa yang akan kita lakukan bila esok hari kita meninggal?” Pada sesi tersebut juga dibahas tema sarasehan kali itu “Tingkatkan Sportivitas, Kreativitas dan Persahabatan dalam Buddha Dhamma”. Meskipun beberapa dari peserta sudah cukup mengantuk dan bahkan ada yang tidur, tapi kami tetap mengikuti sharing tersebut. Puncaknya malam itu kami semua membentuk lingkaran dan bersama-sama menyanyikan lagu “Kemesraan”.
Seperti biasa, pada hari ketiga, kami melaksanakan kebaktian pagi. Sesudah sarapan, para peserta sarasehan berangkat menuju GOR yang berada tak begitu jauh dari vihara Dharma Ratna tempat berlangsungnya acara. Berjalan kaki menuju GOR sekalian mengenal kota Sukabumi. Pertandingan basket berlangsung sangat meriah. Terdengar teriakan para supporter menyemangati tim masing-masing. Bahkan ada supporter yang meneriakkan yel-yel-nya sambil menari-nari. Selesai pertandingan basket acara dilanjutkan dengan lomba cerdas cermat yang diadakan bersamaan dengan lomba tenis meja yang berbeda tempat. Sambil menunggu tahun baru tiba, malam itu lima vihara menampilkan kabaretnya, yaitu Vihara Buddha Guna, Vihara Sakyawanaram, Vihara Vimala Dharma, Vihara Widhi Sakti dan Vihara ..... Terlihat kesungguhan masing-masing vihara dalam menyiapkan lomba kabaret ini. Properti yang digunakan tidaklah disiapkan dalam waktu yang singkat. Setelah kelima vihara tampil, panitiapun ikut menampilkan kabaret.
Saat detik-detik pergantian tahun, Bhante Sumanggalo memberikan sebuah renungan tentang orangtua kita, kesalahan kepada orang tua dan perbuatan yang tidak baik untuk dilakukan. Malam pergantian tahun
Labels: BVD Februari
Sebuah artikel bebas yang kutulis tatkala melintasi laut lepas ………
KM. Mabuhay Nusantara ( Belinyu – Tanjung Priok )
Jumat, 17 agustus 2001, pk. 09.55 wdak, MERDEKA !!!
“ Saat langkah tak lagi searah…
Terlalu banyak keinginan tak terbatas … “
Seringkali kita senandungkan lagu tersebut saat sendiri maupun bersama teman – teman, vokal grup kita pun seringkali mendendangkannya. Tapi entah … apakah seringkali pula kita senandungkan makna syairnya dalam pikiran kita. Entahlah … yang jelas saat kutulis ini, syair tersebut sedang bersenandung di dalam pikiranku, dan melalui tulisan ini, semoga anda juga turut bersenandung bahkan melantunkannya di dalam pikiran – pikiran anda.
Awalnya saya pun teringat dengan lirik sebuah soundtrack sebuah film ternama yang dibintangi oleh Whoopie Goldberg. Ya… ‘ Sister Act II ‘….
“ ain’t no mountain high enough … …
ain’t no mountain high enough … … “
Bayangkan di sebuah pentas kehidupan ini, dimana roda kehidupan terus berputar, kita berperan sebagai pendaki gunung dimana tak ada lagi gunung yang cukup tinggi untuk kita daki. Begitu pula keinginan kita. Sepertinya tak ada lagi gunung – gunung kepuasan yang cukup tinggi untuk memenuhi tanha, nafsu keinginan para mahluk. Rasanya masih kurang tinggi …. Begitu selalu !! Ingin mendaki lebih tinggi lagi, namun apa daya gunung – gunung tersebut tak mampu melayani kepuasan kita. Apa benar keinginan kita memang tak terbatas ?
Sebuah rumah memiliki pagar batas sebagai tanda perbatasan dengan tetangganya ; sebuah negara memiliki batas teritorial dengan hukum yang jelas, bahkan cakrawala pun memiliki batas. Bagaimana mungkin keinginan kita tidak terbatas ??
Jika memang demikian adanya, betapa hebatnya keinginan kita … …
Sebuah batas janganlah diartikan terlalu lugas. Adalah suatu perbedaan pandangan bila ada sebuah pernyataan yang berbunyi “ Ruang Tanpa Batas “. Bagaimana sesuatu bisa dikatakan sebagai ruang bila itu adalah tanpa batas. Setidaknya itulah konsep ruang yang kutafsirkan dalam bidang arsitektur yang kugeluti. Bagaimana sesuatu dapat dikatakan sebagai ruang, bila itu adalah tanpa batas ? Dikatakan sebagai ruang justru karena adanya batas – batas tersebut yang membentuk ruang tersebut. Tak perduli walaupun batasnya hanyalah sebuah tiang bendera misalnya, itupun sudah dapat membentuk suatu ruang. Jadi ruang lingkup batas tidaklah sedangkal itu.
Kembali mengenai hebatnya keinginan kita yang tanpa batas tadi. Bukan main bukan bila kita memandangnya dengan batasan ‘batas’ diatas. Lalu dengan pernyataan tersebut, apakah memiliki suatu keinginan adalah sama sekali tidak baik ? Rancu sekali dengan anjuran –anjuran ataupun nasihat – nasihat agar kita selalu menumbuhkan keinginan untuk berbuat baik. Misalnya keinginan untuk membantu orang lain, keinginan melaksanakan sila, keinginan mempraktekkan Dhamma, dsb. Apakah sederet keinginan tersebut juga tidak baik ??
Berpikir secara idealis, saya beropini bahwa satu – satunya keinginan yang perlu kita kembangkan sebenarnya adalah “ Keinginan untuk meredam semua keinginan “. Jadi …. Keinginan berbuat baik pun apa perlu diredam ? Bukan demikian pula halnya. Jika boleh saya istilahkan, keinginan yang perlu kita kembangkan dapat dikategorikan menjadi 2 macam, yaitu keinginan jangka panjang dan keinginan jangka pendek. Keduanya sama baik. Keinginan jangka panjang adalah bagaimana kita berkeinginan untuk meredam semua keinginan yang ada, dan keinginan jangka pendek maksudnya adalah keinginan berkarma baik. Untuk saat sekarang rasanya baik jika kita mengembangkan keduanya secara paralel, mengingat kita adalah mahluk yang masih terikat 12 nidana, dimana panca indera kita masih berperan banyak sehingga rentan menimbulkan pencerapan, kemelekatan, dll.
Oleh karena itu keinginan kita pun harus memiliki batas jika cakrawala ini pun memiliki batas, mengingat kita pun mahluk yang hidup di cakrawala yang terbatas itu. Ya setidaknya kita bisa istirahat sejenak bila satu atau dua gunung kepuasan telah kita daki, dimana satu atau dua keinginan kita telah terpenuhi, karena …
“ ain’t no mountain high enough … …
ain’t no mountain high enough … … “
Labels: BVD Februari, Vegetable soup for our mind
Sebenarnya, apakah Kebahagiaan itu? Apa jika kita mendapat uang dan materi yang tercukupi adalah suatu kebahagiaan? Atau, jika kita bisa memperoleh kesuksesan dalam kuliah dan pekerjaan adalah suatu kebahagiaan? Atau mungkin, jika cinta kita pada seseorang, terbalas adalah kebahagiaan?
Pelan-pelan, saya berusaha mencoba menelusuri arti kebahagiaan ini. Sampai pada saatnya tiba, waktu yang menjawab segalanya. Pada tanggal 26 November kemarin, saya mendapat telepon penting dari papa, di saat saya sedang hendak berangkat kuliah. Katanya Oma sakit. Bukan hanya sakit, tetapi koma. Hal itu tentu mengejutkan saya yang sejujurnya lebih dekat dengan oma daripada papa dan mama, mengingat papa dan mama lebih sering meninggalkan saya dengan pekerjaannya. Seharian saya berharap supaya, hal ini tidak serius. Saya tidak ingin ditinggalkan disaat saya belum berbuat apa-apa untuk mencintai oma lebih baik. Saya tidak ingin menyesal.
Besoknya, papa menelepon lagi. Papa bertanya apakah saya bisa pulang? Hari itu, saya sedang benar-benar sibuk. Banyak mata kuliah dan dua kursus yang saya ambil. Tapi, Mendengar suara papa bergetar di sana, perasaan tidak ingin menyesal ini membuat saya langsung mengambil keputusan untuk pulang. Dan saya
pulang, meninggalkan tugas yang menumpuk dan janji-janji yang penting. Bahkan merelakan satu mata kuliah fail.Saya pulang.
Sesampainya saya di kota kelahiran, saya langsung menuju rumah sakit. Dan nyatanya, oma dirawat di ICU. Yang saya lihat pertama kali adalah oma, dan tangis saya meledak. Entah kenapa, rasa bahagia ini tidak ada dimanapun. Segala sesuatu yang membuat saya tersenyum, tidak terlintas sama sekali di benak saya.
“Oma, ini saya, oma kenapa tidur saja, oma bangun yuk” bisik saya berulang-ulang. Karena oma tidak bangun juga, saya hanya menggenggam tangannya dan membacakan paritta, berharap semoga karma baik saya datang. Saya rela melimpahkan segala jasa baik saya kepada oma. Semoga oma sehat dan bahagia.
Setelah saya keluar dari ICU, saya duduk di ruang tunggu. “Di sini, semua orang terlihat tersenyum, padahal raut wajahnya lesu” ujar seorang ibu-ibu.
Saya mengamatinya, dan kemudian mengamati semua orang di ruang tunggu. Terlihat ibu berkerudung, menangis sendu. Anaknya baru saja meninggal 2 jam yang lalu. Lalu saya melihat seorang tante yang berlari sambil menggandeng tangan anaknya, dia terburu-buru memasuki ruang ICU. Beberapa orang lagi, berlari menyusul si tante. Tak beberapa lama, mereka keluar dari ruangan itu. Beberapa duduk-duduk di lantai, menatap kosong pada kolam di depan. Beberapa lagi mengobrol bersama yang lain. Hanya saja, persamaan mereka, wajah mereka sama, sendu, pilu.
“Papa drop lagi!” Seru si tante. Maka semua orang kerabat keluarga itu pun ikut terburu-buru memasuki ruangan
Saya tidak masuk, hanya menyaksikan dari ruang tunggu, betapa mengerikannya berada di sini. Pemandangan yang sangat menyakitkan. Seperti berada di medan perang, menyaksikan orang-orang bertahan hidup dari penyakitnya, sementara keluarganya terus-terusan dalam keadaan yang tak pasti.
Si kakek, ayah tante tersebut, sudah berumur 80-an. Dia menderita kanker liver. Beberapa orang di ruang tunggu membicarakannya. Mereka mengatakan sudah lebih dari satu minggu, si kakek berada di ICU. Hal ini membuat saya berpikir, jika dalam satu hari saja, ICU membutuhkan uang 8 juta. Bagaimana dengan orang-orang tak mampu yang sekarang benar-benar sedang berjuang bertahan hidup? Apakah nyawa mereka direlakan begitu saja oleh keluarganya atas dasar ketidak mampuan financial mereka?
Saya tersadar dari lamunan, saat keluarga si tante keluar dari ruang ICU. Dan si tante berjalan menuju kamar mandi. Saya juga melihat adik kelas saya, Dia juga merupakan keluarga si tante. Tak lama, Tante itu berlari, matanya memerah, dia terlihat terburu-buru berlari kembali ke ruang ICU.
“Katakan padanya, papa sudah ngga ada” Kata tante yang lain.
5 menit. Bagi saya, terasa seperti 5 jam. Dan mereka keluar. Menangis. Tangisannya begitu pilu dan menyayat. Mereka duduk di depan saya,menangis, histeris. “Maaf, papa saya baru meninggal barusan, 12.15” Ujar tante itu sambil menelepon.
Pemandangan ini begitu menyayat hati. Kehidupan di luar ICU mungkin berputar, tapi kehidupan di ruang tunggu ini, seperti mati. Kita semua menunggu sesuatu yang tak pasti. Kapan seseorang yang kita cintai yang ada di dalam, kembali sadar? Tak pasti. Dan saya pun hanya duduk di sini. Entah untuk berapa lama, nasib saya pun tak pasti, kapan pulang ke Bandung.
“Keluarga Gunawan” Ujar si suster tiba-tiba. Dan beberapa anggota keluarga Gunawan, terkejut panik, dan segera memasuki ruang ICU.
Panggilan suster seperti bom bagi tiap keluarga, dan keluarga-keluarga itu menunggu, hanya menunggu untuk hal yang tak jelas kapan, sementara waktu mereka terbuang. Tapi mereka tak beranjak, mereka tetap menunggu, mereka begitu mencintai ‘seseorang’ di dalam ICU. Entah berapa waktu dan uang yang mereka relakan.
Ruang Tunggu ICU, yang saya biasa lewati, saya sebelumnya tak pernah menyadari, bahwa sebuah ruang tunggu, adalah ruangan yang mengerikan. Begitu pilu. Begitu menyedihkan. Dalam satu hari saya menunggu, sudah 3 orang meninggal dan keluarganya menangis di depan saya. Tiba-tiba saya menyadari apa artinya sebuah kebahagiaan?
Kebahagiaan bagi saya adalah, jika bisa melihat orang yang saya cintai sehat dan bahagia. Maka segalanya, cukup bagi saya. Dan bagi kalian, yang entah berada di mana, menderita seperti apa, dan mengalami masalah seberat apapun, sadarilah, bahwa kalian jauh (JAUH!!!) lebih bahagia daripada orang-orang yang berada di ruang tunggu ICU, yang entah sampai kapan, digantungkan kehidupannya berada di sana…….
Dan saya berdoa, untuk oma , semoga dia terlahir di alam yang lebih baik. Sabbe Sankhara Anicca….
Labels: BVD Januari
“Orang suci selalu berbahagia, yang bathinnya telah bebas sepenuhnya, yang tidak dikotori oleh keinginan inderawi. Ia senantiasa tenang dan bebas dari kemelekatan” Samyutta Nikaya I : 212.
Bagi segelintir orang-orang yang masih dibelenggu oleh keduniawian maka apapun yang telah dimiliki, tidaklah akan membuatnya bahagia. Di kondisi ini, jika dia telah memiliki
· Seorang istri yang cantik jelita maka di pikirannya akan timbul keingingan-keinginan, untuk mendapatkan yang kedua, ketiga, keempat dan seterusnya. Dan adakalanya, segala cara akan ditempuh untuk meraihnya. Ini sama ibaratnya dengan “jika cinta (keinginan) ditolak maka dukun pun akan bertindak”.
· Villa atau rumah idaman, ini pun tidak cukup baginya. Baginya, one is not enough dan harus lebih dari satu serta jika dimungkinkan, ada di mana-mana.
·
Perusahaan (harta kekayaan) yang berlimpah ruah, keadaan ini pun tidak cukup baginya. Di pikirannya, selalu tertancap kata-kata yang menjurus ke keduniawian lainnya.B
erkenaan dengan kondisi-kondisi yang di atas ini, Sang Buddha menyabdakan : “Kebahagiaan dari nafsu kesenangan inderawi dan kebahagiaan dari berkah surgawi, belumlah sama dengan seperenambelas bagian daripada kebahagiaan karena lenyapnya nafsu keinginan”.Dan didasarkan oleh sabda Sang Buddha ini, maka akan dapat disimpulkan bahwa apapun yang berhasil dimiliki, apakah itu istri/suami yang rupawan, villa idaman, kekayaan atau kekuasaan, jika tidak (bisa) puas maka sampai kapanpun juga, tidak akan bahagia. Dan di kondisi ini, tidak tertutup kemungkinan kemungkinannya bahwa penderitaanlah yang akan lebih dominan dirasakan, sebagai akibat dari ketidakpuasan ini. Jadi, agar terbebaskan dari derita yang tidak seyogyanya dialami dan senantiasa (berhasil) meraih kebahagiaan yang hakiki, maka milikilah sedini mungkin rasa puas akan apapun yang telah dimiliki. Di dalam kitab suci Digha Nikaya III : 224, Sang Buddha menyabdakan bahwa terdapat Ariyavamsa 4 (4 macam praktek mulia), yang mana akan bisa (mampu) menimbulkan rasa puas atas apa yang telah dimiliki. Adapun bagian-bagian dari Ariyavamsa 4 (4 macam praktek mulia) ini adalah:
A. Civara Santosa : puas dengan jubah-jubah apapun yang diperoleh.
Pada hakekatnya, fungsi utama dipakainya pakaian adalah untuk melindungi diri kita dari cuaca/iklim yang kurang bersahabat atau menutupi organ organ tubuh yang tidak sepantasnya ditampilkan (melanggar etika). “Kurus dalam jasmani, sederhana dalam makanan, puas dengan yang sedikit dan tidak terganggu maka angan-angan yang sia-sia akan hilang dan nafsu keinginan mereda. Demikianlah orang yang tiada keinginan akan mencapai Nibbana” Sutta Nipata 707. Dan didasarkan oleh kegunaan dan fungsinya, maka milikilah rasa puas atas pakaian (apapun) yang telah dimiliki.
B. Pindapata Santosa : puas dengan makanan apapun yang dapat diperoleh
Apapun yang dimakan, kenikmatannya hanya akan terasa jika masih berada di dalam mulut atau belum kenyang. Tetapi jika makanan tersebut telah memasuki kerongkongan atau perut sudah kenyang, maka semuanya akan menjadi hambar dan memuakkan. Itulah realitanya. Berkenaan dengan fakta kebenaran ini, maka :
· Makanlah yang sepantasnya dan janganlah sampai kekenyangan.
Janganlah melekat atau (sampai) lupa diri akan apa yang dimakan.
Maknanya adalah makanlah yang sesuai dengan kebutuhan serta tidak mempengaruhi atau merusak kondisi batin, misalnya dengan menghindari meminum/memakan makanan yang mana (bisa) menyebabkan hilangnya kesadaran (narkoba). “Upaya untuk menghindarkan diri dari hal-hal yang buruk yang belum timbul, upaya untuk meninggalkan hal-hal buruk yang telah timbul dalam batin, upaya untuk menimbulkan hal-hal baik yang belum timbul dan upaya untuk memelihara hal-hal baik yang telah timbul; ini adalah empat daya upaya yang diajarkan oleh kerabat Sang Mentari” Anguttara Nikaya II : 17.
C. Senasana Santosa : puas dengan tempat tinggal apapun yang dapat diketemukan
Dalam hal ini (tempat tinggal yang memadai), hanyalah dimanfaatkan pada hal hal yang yang sesuai dengan kegunaan dan fungsinya. Kalau kondisi ini bisa dipenuhi maka rasa puas akan apa yang telah dimiliki akan bisa diraih. Dan di akhir dari ini maka kebahagiaanlah buahnya.
“Dibelenggu oleh nafsu keinginan, diikat untuk bertumimbal lahir; ketat terkungkung oleh pandangan salah, terkekang oleh ketidaktahuan, berpusar kian kemari, demikianlah manusia mengembara dalam Samsara, mati hanya untuk lahir kembali” Anguttara Nikaya II : 10.
D. Bhavanapahanaramata : selalu bergembira (bukan puas) dalam mengembangkan kebaikan dan meninggalkan kejahatan
“Tidak mencelakai makhluk hidup, tidak berbohong, tidak mengambil apapun yang diberikan di seluruh dunia, juga tidak menggoda istri pria lain. Dan tidak pernah meminum minuman keras. Ia yang menghentikan lima perbuatan buruk ini dan tidak melakukan hal-hal tersebut adalah benar-benar disebut seorang yang berbudi/bajik” Anguttara Nikaya III : 205-206.
Di dalam konsep Buddhis, ditegaskan bahwa perbuatan apapun yang diperbuat, itulah yang nantinya menentukan corak bahagia tidaknya kehidupan seseorang. Jika seseorang itu, selalu bergembira di dalam penimbunan kebajikan dan enggan (tidak mau) menyemai kejahatan maka kebahagianlah akibatnya. Dan begitu pula sebaliknya, si penimbun kejahatan, pasti akan menderita, baik di kehidupan ini maupun mendatang.
Kesimpulan:
Puas atas apa yang telah dimiliki, itulah kebahagiaan yang sesungguhnya. Dan oleh karena itu, milikilah sedini mungkin akan rasa puas dengan pasangan , kedudukan, kekayaan yang telah dimiliki.
Sang Buddha menyabdakan : “Kekayaan keyakinan dan kekayaan ‘sila : moral’, kekayaan hati nurani (malu berbuat jahat), takut akan celaan, kekayaan berpengetahuan dan juga kedermawanan serta yang ke-tujuh; kekayaan kebijaksanaan. Mereka yang memiliki tujuh kekayaan sejati ini, apakah mereka wanita atau pria, tidaklah miskin atau papa, tidak pula kehidupan mereka telah dijalani dengan sia-sia.” Semoga dengan dimilikinya sifat mulia yang puas atas apa yang telah dimiliki, hendaknya kehadiran kita senantiasa bermanfaat bagi kedamaian, ketentraman dan kebahagiaan semua makhluk hidup!
Labels: BVD Desember
Hmmm… hujan lagi. Bagian dapur dan ruang makan bocor lagi. Air yang masuk dari asbes yang bocor tidak banyak, namun membuat lantai jadi licin dan lama-lama kayu penyangga asbes akan lapuk.
Agar tidak makin parah, tentu harus diperbaiki. Maka dicarilah tukang yang bisa memperbaiki. Sambil menyelam, minum air. Bukan hanya memperbaiki bagian yang bocor, sekalian saja dibeton dan di atasnya dibuat 2 kamar kecil. Persiapan untuk si kecil yang mulai harus tidur terpisah. Hal ini sudah lama dipikirkan, namun terbentur biaya.
Penulis rasa inilah saat yang tepat. Maka mulailah menghubungi tukang. Bicara soal upah tukang, ada 2 pilihan yang ditawarkan. Pertama, upah harian, kedua upah borongan. Sama dengan hal-hal lain di dunia, selalu ada plus minus pada setiap pilihan.
Pilih upah harian: kerjanya rapi, tapi lambat. Upah borongan: cepat selesai tapi hasil tidak bagus. Solusinya? Pilih salah satu tetapi kerja tukang harus dikontrol (baca: kita beri arahan). Kita yang harus aktif memberi instruksi dan komplain bila ada hasil kerjanya yang tidak sesuai.
Inilah yang selalu terjadi di dunia. Ada 2 hal yang bertolak belakang: suka duka, miskin kaya, hujan panas, dan lain-lain. Hal umum yang terjadi dan kembali terlintas di pikiran penulis kala hujan turun setiap sore.
Bukan saja realita 2 hal bertolak belakang tadi yang kembali “diingatkan” oleh turunnya hujan. Juga realita bahwa di dunia ini, tidak ada yang kekal (anicca), dan realita bahwa manusia selalu butuh kontrol.
Kayu yang terkena tetesan air akan lapuk, tubuh kita juga mengalami hal yang sama. Juga soal kontrol. Pemerintah harus dikontrol oleh masyarakat, karyawan butuh kontrol atasan, kita juga perlu diingatkan sahabat kita agar tetap berada di jalur. Tanpa kontrol, sering kali kita keluar jalur, kebablasan.
Labels: BVD Desember, Introspeksi